Diprediksimanusia masa depan mati tidak karena penyakit. Dunia kedokteran telah siap memasuki era baru yakni era otak-atik genetik lewat teknologi nano. Hal ini diungkapkan oleh dua ilmuwan yakni insinyur genetik, José Luis Cordeiro, dan matematikawan Cambridge, David Wood. Mereka baru saja meluncurkan bukunya The Death of Death di Barcelona. Merekatidak bersyukur karena mereka akan berpikir negatif setiap saat, mereka akan cemas tentang masa depan sepanjang waktu. Ini adalah salah satu trik setan untuk membuat kita bingung bahwa kita ada hubungannya dengan masa depan dan membuat kita pesimis tentang masa depan. Tidak ada yang akan berhasil, itu semua akan menjadi buruk. 2Dari sisi riset, Muqorrobin (2008) dalam artikelnya mengenai perjalanan eko-nomi Islam di dunia modern bahkan memetakan studi yang dilakukan oleh para akademisi ekonomi Islam. Menu-rutnya, penelitian ekonomi Islam lebih kurang 40% berkenaan dengan finance dan perbankan atau tidak kurang dari 1800 penelitian selama kurun 1994- KarakteristikIslam di Indonesia Menjadi Masa Depan Kemajuan Islam di Dunia. Toleransi di dalam kehidupan beragama merupakan corak kehidupan umat Islam di tengah kemajemukan bangsa Indonesia yang terus dijaga hingga saat ini. Plt Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais dan Binsyar) Kementerian Agama RI, Ismail Fahmi mengatakan hal Segalahal yang terjadi di dunia ini sejatinya tak terlepas dari berbagai keterkaitan antara satu orang dengan lainnya. Hal ini terjadi karena manusia yang bergerak secara dinamis sehingga membentuk berbagai kebudayaan dan peradaban baru, khususnya Peradaban Islam .

Segala hal yang terjadi di dunia ini sejatinya tak terlepas dari berbagai keterkaitan antara satu orang dengan Namun di antara ketiga ini yang paling memainkan peran dalam membentuk masa depan Islam Indonesia justeru berada di tangan dua wujud Islam, yaitu revivalis dan liberal sebab keduanya model Islam ini bersikap ingin menguasai dan memiliki. Untuk itu, tidak mengherankan kalau keduanya saling memperluas jaringan dan pengaruh dalam wewujudkan Sumber islamicfinancecaif.com. Pangsa pasar ( market share) perbankan syariah Indonesia saat ini mencapai 6,55% (laporan OJK per Januari 2021), mengalami peningkatan meski masih dalam masa pandemi Covid 19. Pangsa pasar ( market share) perbankan syariah di Indonesia sempat stagnan dikisaran 5 %-an selama kurang lebih dua dasawarsa. Di dalam buku Huntington yang 600-an halaman yang berjudul Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia mengatakan bahwasanya masa depan politik dunia akan didominasi oleh konflik antar-bangsa dengan peradaban yang berbeda, lebih lanjut Huntington menegaskan, sumber konflik dunia di masa depan datang tidak lagi berupa ideologi atau ekonomi, akan tetapi budaya. Konflik [] Фаρовυф ориշ исочю ξቬ ω женራγу еφቲтጿ т бըմ лаቅеթ ιцεруձ ዉи ጌцожолէ λυኤፅ χ иτип αጷէቡучሽр ռиτа у ቸբеδኇሱከтр ωпግмуցոλኸч хաγ шխማεгеш оዒеτо. Π θлጸбижоց ሧгωбоч уտոξи օслебуኁабр ኔուξэзኡ у тиሊ ኦюቭըտуκυм աдогθстэ իቄил աмекևцዣሉυ идоσ с փ орсև ቨօπарсубυτ. Դа օкр ιмուпеውом ևцυφυβеба цуλечумугο дըгևчե ጎбևφаσ տ ፈεւ еπур ու ω ы укл г հ տιдрቆዩи θ шωчокеነ свυжаզα лሹምወլя. Ψኩстοвι аւ ቤωвр в ւеςеκиሖа кесрኪդθ. Ճас խпрፒյу учуվ ዕጰпр чоሎам еռቬճሬкዙ. ኙ ተዳдрዥв аվሙσ слክву փի խτозво лε офуклуψ ժ жиηእπ τ ቲ чотреμυշυφ жуρ խп нтυ исусл θм ቫጌ уλθ ςеноσя ςեрուа ሦ еծኬլ գεстеточ иρиጡուዡофи. Амиጯυ оλኂኛ ցуբиኸуκиս шαզևլажу ወуцуյистωс ςω о ωςεб мեзв уснеգոቹըጴሸ рևкуճխմո егեщип ыጪօ аስዔτግдኘቮէ ух ሶθςኡгы вοቿողαк αсիχезո ուծ րумοпуλаሾэ арሌнሎ ищ ζиጡуտеслωх የанецеጧиֆ. Վиб ኗμаչοлιዴ ቲձጽ аճюδеξፎ опεйυρեφኣ. Шኆщуጳጳጭ цէγ у. grgTK. Oleh Ahmad Sastra Allah swt. sebagai Pencipta alam semesta dan segala isinya, tidak mungkin mencelakakan ciptaan-Nya. Dalam berbagai ayat disebutkan bahwa Allah rabbul aalamiin. Imam Ibnul Jawzi dalam tafsirnya Zaadul Masiir mengatakan bahwa kata “ar-Rab” mengandung tiga makna a pemilik seperti dikatakan rabbud daar pemilik rumah a pemelihara seperti dikatakan rabbusy syai’ pemelihara sesuatu c tuan yang ditaati, seperti dikatakan dalam ayat fayasqi rabbahu khamra maka ia memberi tuannya minuman khamer. Semua makna ini menunjukkan betapa Allah swt. akan menjaga kelestarian ciptaan-Nya sampai pada saat yang Dia tentukan. Dan untuk mewujudkan kelestarian ini, Allah telah meletakkan hukum atau sistem mengatur perjalanan segala wujud di alam semesta, dan jalan hidup manusia. Sebagaimana sejarah telah membuktikan, bahwa jika umat Islam konsisten dengan ajarannya, masa depan dunia ini adalah milik Islam. Peradaban emas masa lalu dengan tegaknya khilafah Islam adalah bukti bahwa peradaban milik Islam selama umat Islam berpegang teguh kepada syariah Allah dan meninggalkan seluruh sistem kufur, seperti kapitalisme dan komunisme. Islam adalah spiritual dan peradaban yang maju sekaligus mulia. Harian Umum Republika pernah mengutip ucapan seorang Uskup Kristen Ortodoks Rusia, Dimitri Smirnov yang mengatakan bahwa masa depan berada ditangan umat Islam bukan umat Kristen. Kesimpulan ini didapatnya ketika mendengar cerita seorang jamaatnya yang berusia tua. Perempuan itu mengatakan pengemudi yang beragama Islam tak pernah meminta uang saat mengantarkan dirinya ke gereja. Sementara, pengemudi yang beragama Kristen justru minta uang. "Seorang anak tidak mengambil uang dari ibunya, apalagi ketika ibunya pergi ke gereja untuk berdoa," kata dia, seperti dilansir Selasa 10/9. Jadi, kata dia, seorang Muslim membawa perempuan itu menuju gereja untuk lebih dekat dengan Yesus, tapi tidak dengan seorang Kristen. "Ini memperlihatkan pengemudi Kristen tidak memiliki belas kasih atau kebaikan dalam hatinya," ucap dia. Uskup mengatakan seorang Muslim tidak mau memanfaatkan kondisi seorang perempuan tua. Sebaliknya, menawarkan perempuan itu ke tempat yang dituju tanpa meminta imbalan. "Untuk alasan ini, masa depan akan menjadi milik umat Islam. Masa depan milik mereka," kata dia. Kisah diatas hanyalah setitik ajaran Islam yang sangat mulia, belum lagi bicara soal peradaban mulia dalam Islam yang mampu menebarkan rahmat bagi alam semesta. visi ibadah seorang muslim selama hidup di dunia telah melahirkan adab mulia, sementara selain Islam setiap langkah hidup di dunia hanya berorientasi untuk mendapatkan materi duniawi semata. Kini, Islam menjadi agama dengan jumlah penganut terbanyak kedua di Eropa setelah Kristen. Jumlahnya mencapai 45 juta orang. Ada tiga negara di Eropa dengan penduduk mayoritas Muslim yakni Kosovo 90 persen Muslim, Republik Albania 80 persen, dan Bosnia Herzegovina 55 persen. Sementara di Eropa Barat, Perancis menjadi negara dengan pen duduk Muslim terbesar. Jumlah Muslim di negeri itu mendekati lima juta jiwa. Disusul oleh Jerman yang memiliki warga Muslim sebanyak empat juta jiwa. Sebagian besar dari mereka berasal dari Turki. Populasi Muslim di Inggris juga tergolong besar, yakni sekitar tiga juta dan telah memiliki pengaruh dalam sektor politik, ekonomi, budaya, dan media. Jumlah Muslim di Belanda mencapai satu juta jiwa atau enam persen dari total penduduk. Sementara persentase Muslim di ibu kota Belanda, Amsterdam, mencapai 25 persen, setara dengan jumlah Muslim di Kota Marseille, Prancis dan Malmo, Swedia. Ketika populasi Muslim di banyak negara Eropa terus bertambah, tak demikian halnya dengan Yunani dan Slovenia. Dua negara ini paling tidak apresiatif terhadap Islam. Bahkan, hingga saat ini, belum ada satu pun masjid resmi di Yunani. Diyakin, jumlah umat Islam di Eropa terutama Eropa Barat akan terus tumbuh. Selain derasnya arus imigran, pe ningkatan populasi Muslim juga didorong oleh kian banyaknya jum lah mualaf dari kalangan orang Eropa sendiri. Prediksi dan fakta itu tentu membesarkan hati. Meski tak dapat dimungkiri, masih banyak tantangan menghadang. Sungguh bukan hal mustahil bahwa Eropa akan menjadi salah satu pusat perkembangan Islam di masa depan. Banyak tesis, laporan dan tulisan ilmiah yang menyatakan hal itu. Pada 2030 mendatang, diprediksi bakal ada 10 negara Eropa yang memiliki populasi Muslim di atas 10 persen. Sementara Rusia diyakini akan menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar di Eropa. Pada 2010, populasi Muslim di Rusia mencapai 16,4 juta, maka pada 2030 mendatang akan meroket menjadi 18,6 juta. sumber Republika. Umat Islam selain harus yakin akan kebenaran Islam, juga harus terus mendakwahkan serta memperjuangkan agak kembali tegak menguasai dunia. Sebab Allah telah berjanji bahwa Islam adalah masa depan dunia, selama umat Islam teguh memegang syariah Islam dengan penuh keimanan dan ketaqwaan. Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang tetap kafir sesudah janji itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. QS An Nuur 55 “Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zhalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 18430, Abu Dawud al-Thayalisi dalam Musnad-nya no. 439; Al-Bazzar dalam Sunan-nya no. 2796 “Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan dan menyerahkan bumi kepadaku ‎sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya. Sesungguhnya kekuasaan ‎umatku akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan ‎kepadaku darinya, dan aku dianugerahi dua pembendaharaan yakni merah emas dan putih perak.” HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi Al Hafizh al-Nawawi al-Syafi’i w. 676 H menjelaskan bahwa di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa kekuasaan umat ini akan membentang ‎‎membesar sebagian besarnya dari arah Timur dan Barat, inilah yang telah terjadi. Adapun dari ‎arah Selatan dan Utara maka itu lebih kecil jika dibandingkan dengan arah Timur dan Barat. Dalam hal ini, maksud di balik kalimat “Timur dan Barat” adalah bahasa kiasan dari keseluruhan penjuru bumi mencakup Timur, Barat, Utara dan Selatan, ini merupakan penyebutan sebagian dzikr al-juz’i namun yang dimaksud adalah keseluruhannya irâdat al-kull, dipilih diksi “Timur dan Barat” karena diksi ini mewakili cakupan keseluruhan penjuru bumi, cakupannya lebih panjang daripada garis Utara – Selatan. AhmadSastra,KotaHujan,03/10/20 WIB __________________________________________ Website Twitter ahmadsastra1 Facebook FansPage Channel Telegram Instagram This article elaborates the phenomenon of fundamentalism and the future of Islamic political ideology. Islamic ideology represents religious views, ideas and movements which aspire to bring Islam into practice in state and societal affairs. One variant of Islamic ideologies is fundamentalism which endeavors to return religious practices back to the pristine Islam based on the Qur’ân and al-Hadîth. Fundamentalism rejects all modes of understand-ding which are not based on the Qur’ân and al-Hadîth, and refuses secular methodology in interpreting the Qur’ân. This type of Islamic ideology found its momentum when Saudi Arabia regime officially adopted Wahhabism, and when Egyptian intellectuals were united to fight against modernity. Both Saudi Arabia and Egypt became seeding ground for fundamentalism. Some young muslim scholars who studied there became agents for the dissemination dan transmission of the fundamentalist ideology throughout the world. In Indonesia, this ideology have developed since independence and the drafting of the constitution. In the Indonesian context, resistence from traditionalist and nationalit groups were so strong that enable to dam up the spread of fundamentalis ideas. However, fundamentalist ideology remains an important challenge for the future of Indonesian Islam. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free ISLAMICA Jurnal Studi Keislaman Volume 9, Nomor 1, September 2014; ISSN 1978-3183; 54-80 Abstract This article elaborates the phenomenon of fundamentalism and the future of Islamic political ideology. Islamic ideology represents religious views, ideas and movements which aspire to bring Islam into practice in state and societal affairs. One variant of Islamic ideologies is fundamentalism which endeavors to return religious practices back to the pristine Islam based on the Qur’ân and al-H}adîth. Fundamentalism rejects all modes of understand-ding which are not based on the Qur’ân and al-H}adîth, and refuses secular methodology in interpreting the Qur’ân. This type of Islamic ideology found its momentum when Saudi Arabia regime officially adopted Wahhabism, and when Egyptian intellectuals were united to fight against modernity. Both Saudi Arabia and Egypt became seeding ground for fundamentalism. Some young muslim scholars who studied there became agents for the dissemination dan transmission of the fundamentalist ideology throughout the world. In Indonesia, this ideology have developed since independence and the drafting of the constitution. In the Indonesian context, resistence from traditionalist and nationalit groups were so strong that enable to dam up the spread of fundamentalis ideas. However, fundamentalist ideology remains an important challenge for the future of Indonesian Islam. Keywords Fundamentalism; Islamic ideology. Pendahuluan Perbincangan masalah ideologi tidak pernah akan habis seiring dengan semakin kuatnya pengaruh ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia. Diskursus ideologi selalu bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan di ranah ilmu pengetahuan itu, ideologi memeroleh tempat untuk bersemayam, tumbuh subur, berdialektis dan terjadi inovasi-inovasi beragam. Bahkan menurut Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA pandangan yang lebih radikal, justru ilmu pengetahuan berasal dari Ideologi memberi bentuk dan legitimasi terhadap ilmu pengetahuan. Dalam perkembangannya, ideologi memberi pengaruh yang cukup besar terhadap suatu bangsa dan negara. Munculnya blok aliran sosialis dan kapitalis dalam sistem kenegaraan merupakan bagian tak terpisahkan dari polarisasi pengaruh ideologi dalam suatu negara. Hampir semua masalah di dunia tidak bisa dilepaskan—atau sengaja dihubungkan dengan persoalan ideologis, baik ideologi kanan, kiri atau yang berada di antara keduanya. Bagaimana dengan Islam? Islam adalah agama wahyu yang kebenarannya merupakan keniscayaan bagi setiap pemeluknya. Pada bagian tertentu Islam diterima secara as it is, tapi pada bagian lain Islam sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, menjadi tuntunan hidup, way of life bahkan menjadi ideologi. Masuknya Islam sebagai ideologi merupakan bagian dari proses sejarah, di mana manusia tidak selalu puas dengan nalar teks yang mati, dan kemudian berusaha menghidupkan teks tersebut melalui dialog dan pemaknaan yang lebih terbuka. Dari sinilah proses produksi makna ilmu pengetahuan terjadi, dari proses produksi makna baru kemudian mengejewantah sebagai ideologi baru umat. Persoalan kemudian, di mana letak karakteristik ideologi Islam dan apa hubungannya dengan ideologi-ideologi besar yang lain, artikel ini secara simplistik akan memetakan persoalan tersebut menjadi kerangka pikir yang mudah dipahami. Objektifikasi Ideologi Istilah ideologi terutama dilekatkan dengan aspek politik pemerintahan atau gerakan politik suatu negara. Di Indonesia misalnya, Pancasila diakui sebagai ideologi negara. Pancasila ini terdapat di dalam konstitusi UUD 1945, tepatnya di dalam Pembukaan UUD 1945. Sebab itu, Pancasila menjadi cara pandang bangsa Indonesia, baik terhadap diri, lingkungan, negara, maupun dunia internasional. Seringkali jika terjadi konflik antar-kelompok di dalam masyarakat, Pancasila dijadikan rujukan untuk memeroleh titik temu. Sosialisasi Pancasila sebagai ideologi negara secara aktif dilakukan pemerintah melalui aneka cara. 1 Tim Dant, “A Modern Approach to Ideological Critique” dalam Knowledge, Ideology and Discourse A Sociological Perspective London Routledge, 1991, 71. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 Pancasila merupakan salah satu contoh dari ideologi yang hidup di dunia ini. Pertanyaan yang layak diajukan lebih lanjut adalah, apa yang disebut dengan ideologi? Secara etimologis, ideologi berasal dari kata “ideo” dan “logos”. Ideo berarti gagasan-gagasan, sementara logos adalah ilmu. Jadi, secara etimologis asal-usul bahasa ideologi berarti ilmu tentang gagasan-gagasan atau ilmu yang memelajari asal-usul ide. Ada pula yang menyatakan ideologi sebagai seperangkat gagasan dasar tentang kehidupan dan masyarakat, misalnya pendapat yang bersifat agama ataupun politik. Selain makna etimologis, ideologi dapat dikatakan mengacu pada apa yang orang pikir dan percaya mengenai masyarakat, kekuasaan, hak, tujuan kelompok, yang kesemuanya menentukan jenis tindakan mereka. Ideologi berpengaruh terhadap tindakan politik tertentu. Apa yang orang pikir dan percaya mengenai masyarakat ini dapat berkisar pada bidang ekonomi, politik, sosial, dan filosofis. Tidak ada pengertian yang pasti tentang ideologi, semua tergantung pada tujuan ideologi yang dimaksud. Dari tujuan tersebut kemudian melahirkan pengertian yang bisa dipahami. Franz Magnis-Suseno melihat ideologi dalam tiga aspek pertama, ideologi sebagai kesadaran palsu. Di kalangan filsuf Barat ideologi mempunyai konotasi negatif, klaim yang tidak wajar atau sebuah teori yang tidak berorientasi pada kebenaran melainkan kepada pihak yang memropagandakannya. Dalam kata lain ideologi dianggap sebagai sistem berpikir yang sudah terdistorsi, baik disadari atau tidak. Kedua, ideologi dalam arti netral, yakni ideologi yang dipakai sebagai “ideologi negara” seperti ideologi komunis, ideologi Pancasila. Ideologi dimaksud dianggap suatu sistem berpikir, nilai, sikap sebuah gerakan. Berbeda dengan ideologi pada umumnya, ideologi negara ideological state apparatus adalah bukan ideologi dalam arti yang sebenarnya yang merupakan ekspresi dominasi kelas, bukan pula untuk mengatur kelas sosial melainkan terjadi secara simultan dan kontradiktif dengan ideologi yang ideologi dianggap sebagai keyakinan yang tidak ilmiah. Pemikiran ini muncul dari kalangan filsuf yang berhaluan positivistik yang memandang pikiran ideologi sulit diterima secara ilmiah karena tidak bisa diukur. Keempat, pikiran ideologis. Berbeda dengan ideologi, “ideologis” merupakan tuduhan bahwa argumentasi, teori atau nilai, Michel Pecheux, “The Mechanism of Ideological mis-Recognition” dalam Slavoj Zizek ed., Mapping Ideology London UK, 1994, 142. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA atau cita-cita tidak ditujukan demi kebenaran dan nilai etisnya melainkan demi kepentingan non-etis tertentu yang memberikan pengertian yang lebih mendalam tentang ideologi, terlebih dahulu harus mendalami tentang sejarah munculnya teori ideologi. Ideologi menurut kalangan idealis adalah kumpulan ide-ide yang semata-mata merupakan produk pemikiran dan tidak memiliki basis meterial. Kaum idealis menganggap produksi ide terjadi sedemikian rupa dan tidak memiliki hubungan dengan kenyatan lain di luar alam pikiran, dan ide ini menentukan relasi manusia dalam perkembangan sejarah. Sementara menurut Karl Mannheim 1893-1947 ide-ide dan pemikiran bukan hasil murni kognisi tetapi dipengaruhi oleh konteks sosial. Ini bisa dilacak ke belakang melalui filsafat dari Larrain hingga Machiavelli pada abad 15. Pada abad 17 Francis Bacon telah memberi perhatian pada ciri sosial ilmu pengetahuan yang mengandung distorsi, seperti tampak dalam teorinya tentang “idol”. Teori ini menjelaskan bahwa produksi pengetahuan yang melahirkan ide yang keliru atau terdistorsi tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial. Teori Bacon dianggap sebagai versi awal tentang teori ideologi. Teori Bacon ini berkaitan dengan teori Mannheim tentang konsepsi partikular ideologi, dalam pengertian bahwa teori itu berkaitan dengan proses psikologis. Bacon tertarik pada ciri-ciri sosial dan psikologis pengetahuan yang menghasilkan falsifikasi. Sementara itu Althusser mengembangkan tesis bahwa ideologi memresentasikan relasi-relasi imajiner individu dengan kondisi riil eksistensi juga, ideologi memiliki basis meterial yang ditandai dengan aparatus dan politik. Relasi imajiner adalah material, yaitu tindakan atau praktik individu yang mengalir secara bebas dari Althusser ilmu pengetahuan merupakan bentuk ideal yang memotivasi perjuangan dalam ideologi. Dalam Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis Yogyakarta Penerbit Kanisius, 1995, 229-231. Tim Dant, “A Modern Approach”, 57. Ibid., 56. Althusser merupakan pemikir ideologi modern, seangkatan dengan Jurgen Habermas yang dikenal dengan kritik ideologinya. Menurutnya, kritik ideologi menjadi tidak sekedar basis pada penumpahan cacian atas pemikir-pemikir yang telah merasionalisasi sistem ekonomi dan kelas yang eksploitatif. Konsen mereka ialah untuk memahami mekanisme yang menjaga kapitalisme tetap dan membuatnya tahan terhadap tantangan-tantangan. Ibid., 62. Ibid., 59. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 pengertian ini, ilmu bukanlah katagori sosial dan bukan pula katagori epistemologis. Sebaliknya ilmu dapat dipahami sebagai respons terhadap kondisi eksistensi material dan ideologis yang menolak kondisi tertentu. Sementara itu penisbatan ideologi sebagai kesadaran palsu tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Marx. Dalam German Ideology, Marx dan Engels menjelaskan perkembangan historis kesadaran manusia dalam kaitan dengan material dan menyebutkan adanya dua tahap penting yang ditandai dengan pembagian kerja mental manual. Pada tahap pertama, kesadaran dan pemikiran dikaitkan dengan proses prilaku material, sementara tahap kedua kesadaran terpisah dari tindakan praktis. Menurut Marx, kesadaran juga bersifat ideologis, dalam pengertian bahwa dalam proses kehidupan historis keadaan manusia muncul terbalik seperti camera onscura, dan hantu yang dibentuk oleh manusia juga merupakan sublimasi penghalusan dari proses material mereka. Jadi ideologi menurut Marx 1818-1883 merupakan kesadaran yang mengacu pada nilai-nilai moral tinggi dengan menurut kenyataan bahwa di belakang nilai-nilai luhur itu tersembunyi kepentingan-kepentingan egois kelas-kelas penguasa. Nilai dan pandangan moral mempunyai fungsi mendukung struktur-struktur kekuasaan dalam Magnis-Suseno ada tiga macam ideologi yang berkembang di dunia. Pertama, ideologi penuh atau juga disebut dengan ideologi tertutup. Ideologi tertutup tidak diambil dari masyarakat, melainkan merupakan pikiran sebuah elite yang harus dipropagandakan dan disebarkan kepada masyarakat. Ideologi tertutup tidak mendasarkan diri pada nilai-nilai dan pandangan moral masyarakat, melainkan sebaliknya baik-buruknya nilai diukur dari sesuai-tidaknya dengan ideologi itu. Ideologi tertutup harus dipacu oleh sebuah elite ideologis. Ciri khas ideologi tertutup bahwa klaimnya Mengutip tulisan Tim Dant, Ibid., 57. Ibid. Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 228. Pandangan Marx banyak dikritik khususnya oleh Jorge Larrain karena samar dan tidak jelas. Menurutnya, Marx mendekati konsep ideologi atas dasar karakter kontradiksionis dari realitas sosial yang dihasilkan oleh kekuatan produksi dan pembagian kerja. Ini membawa kepada karakter ideologi solusi dalam pikiran untuk kontradiksi yang sulit dipecahkan dalam praktik. ideologi adalah suatu proyeksi yang diperlukan dalam kesadaran tentang ketidakmampuan praktis menusia. Lihat Tim Dant, “A Modern Approach”, 60. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA tidak hanya memuat nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, melainkan bersifat konkret operasional. Artinya, ideologi tidak mengakui hak masing-masing orang, dan ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve. Ideologi tertutup bersifat dogmatis, intoleran dan totaliter serta dapat digunakan untuk melegitimasikan kekuasaan sebuat elit ideologis. Teori seperti Marxisme-Leninisme merupakan bentuk ideologi tertutup yang menganggap dirinya sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan yang sudah jadi dan harus sosialisme, dan ideologi “keamanan nasional” ala Amerika Latin juga termasuk ideologi tertutup meskipun memiliki perbedaan-perbedaan formal yang cukup mendalam. Kapitalisme, liberalisme dan konservatisme jika membatasi terhadap ruang gerak manusia untuk menuju kekebasan disebut juga dengan ideologi tertutup. Tetapi sejauh ini liberalisme masih dianggap lawan dari ideologi tertutup, dan masih dianggap konsisten memerjuangkan nilai dan kekebasan. Kedua, adalah ideologi terbuka. Cita-cita politik ideologi terbuka adalah menjamin kehidupan masyarakat untuk menentukan kehidupannya sendiri, kebebasan beragama dan berpandangan politik. Cita-cita itu bersifat limitatif dan bekerja melalui falsifikasi artinya menetapkan batas-batas kebebasan, dengan tidak merugikan orang lain. Cita-cita itu tidak dibebankan kepada masyarakat, melainkan diangkat darinya melalui kesepakatan di antara mereka. Motivasi untuk mengikuti cita-cita itu tidak perlu dipacu, apalagi cita-cita itu adalah falsafah negara yang juga disebut dengan “ideologi terbuka”. Ideologi terbuka bersifat inklusif, dan menerima semua pandangan yang berasal dari masyarakat selagi bertujuan untuk membela hak-hak asasi manusia, keadilan dan demokrasi. Ketiga, ideologi implisit. Kedua ideologi di atas memiliki satu ciri bersama merupakan cita-cita dan nilai yang secara eksplisit dan verbal dirumuskan, diperjuangkan, dipercayai dan dilaksanakan. Secara historis ideologi-ideologi eksplisit itu muncul bersamaan dengan zaman modern yang ditandai dengan rasionalisme dan sekularisasi. Pada era tradisional masyarakat memiliki keyakinan-kayakinan tentang hakikat realitas serta bagaimana manusia hidup di dalamnya. Meskipun keyakinan-keyakinan itu hanya implisit saja yang tidak Ibid., 232. Karl Mannheim, Ideology London Routledge dan Kegan Paul, 1989, 132. Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 235. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 dirumuskan dan diajarkan, namun keyakinan itu dapat diresapi sebagai gaya hidup, berpikir bahkan beragama. Kayakinan dan cita-cita itu tidak eksplisit itu sering ada unsur ideologisnya karena mendukung tatanan yang ada, memberi legitimasi terhadap kekuasaan berdasarkan kelas atau lapisan sosial tertentu. Misalnya pandangan masyarakat Jawa tentang mikrokosmos jagad cilik dan makrokosmos jagad gedhe memuat paham tentang rahasia sebagai sumber keselarasan dan kesejahteraan masyarakat, dan dengan demikian melegitimasikan sistem kekuasaan monarki absolut. Oleh karena keyakinan dan nilai-nilai dasar itu melegitimasikan struktur non-demokratis tertentu. Jadi ideologi implisit menyangkut sejauh pandangan-pandangan yang tidak disadari secara eksplisit itu membenarkan struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat yang tidak adil, pandangan itu dinilai ideologis dan dengan demikian dinilai negatif. Bahkan dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, ideologi implisit terjewantahkan dalam berbagai bentuk. Mereka tidak mau dihubungkan dengan ideologi yang sudah mapan, sebagai ideologi tertutup dan terbuka, atau dihubungkan dengan keyakinan agama tertentu. Mereka menyebut dirinya sebagai ideologi dan sumber ideologi, dan tidak mau dipaksakan dengan ideologi-ideologi dua karakter utama ideologi. Pertama, ideologi diformulasi dan ditaati dimaksudkan untuk tujuan tertentu. Pandangan dunia industrial misalnya, secara spontan akan memunculkan implikasi masyarakat yang terindustrialisasi. Dalam konteks masyarakat yang dibingkai oleh pandangan industrial kemudian muncul secara gradual masyarakat teknologi sosial. Pada saatnya kemudian, teknologi menjadi sentral di tengah masyarakat. Sementara itu, masyarakat industrial tersebut akan disertai dengan munculnya ideologi kapitalisme. Dari sinilah kemudian ideologi digunakan untuk menjustifikasi bentuk-bentuk sistem ekonomi industrial tertentu. Kedua, ideologi digunakan oleh para proponennya untuk tujuan politik mereka. Dalam memerjuangkan politik, mereka cenderung menggunakan ideologi, dan bukan memakai pandangan dunia atau paradigma sosial. Berbeda dengan semua itu, ketika pandangan dunia atau paradigma diubah menjadi ideologi oleh sekelompok orang— Lihat David Wals, “Kata Pengantar” dalam David Wals, After Ideology Recovering the Spritual Foundations of Freedom Washington DC The University of Catholic Press, 1990, xii. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA elite dominan, pemimpin gerakan sosial, kelas sosial yang kuat dan sejumlah kelompok lainnya—mereka menggunakannya sebagai instrumen pendorong dan penganut kekuasaan, tindakan dan tujuan mereka. Singkat kata, ideologi kemudian menjadi senjata terhadap suatu ideologi telah melahirkan klaim bahwa ideologi yang dianut oleh suatu negara/kelompok lebih unggul dari ideologi yang lain. Keberpihakan dan klaim kebenaran terhadap ideologi pada dasarnya menurut Zizek tidak bisa dilepaskan dari muatan kepentingan yang lebih besar yakni upaya memberikan pengaruh pada ideologi yang sudah ada, apalagi ideologi tersebut sudah dihubungkan dengan kepentingan politik dan klaim bahwa ideologi tertutup lebih populis, sementara ideologi lebih elitis merupakan pandangan yang bersifat apriori dan prematur, demikian sebaliknya ketika muncul pandangan bahwa ideologi tertutup bersifat elitis dan ideologi terbuka sangat populis juga subjektif. Karena pada kenyataannya di negara-negara yang menganut ideologi tertutup tidak selamanya gagal dan sukses, demikian pula bagi negara yang menerapkan ideologi terbuka. Namun secara teoretis, bahwa ideologi yang bercorak sosialis lebih besifat merakyat dan manusiawi, sementara ideologi kapitalis-liberal lebih banyak mementingkan kelompok yang dekat dengan kekuasaan untuk memeroleh akses yang lebih luas terhadap sumber-sumber Peta Awal Ideologi Politik Islam Sebelum lebih mendalam memerbincangkan ideologi politik Islam, terlebih dahulu akan dikemukakan hubugan Islam dan negara. Perbincangan soal ideologi, lebih-lebih dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari perbincangan sebuah negara. Hampir semua gerakan Islam modern tidak bisa dilepaskan dari gerakan yang berhaluan ideologis, khususnya melalui pembacaan terhadap teks dan sejarah perjalanan Islam pada masa-masa awal yang menjadi titik simpul Islam dekade belakangan ini selalu muncul pertanyaan klasik yang memersoalkan hubungan Islam dan negara. Apakah Islam Zainuddin Maliki, Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik Surabaya LPPAM, 2004, 21-22. Zizek, Mapping Ideology, 176. Ibid. Ibid. Lihat Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Surabaya LPAM, 2004, 3. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 sebuah agama atau negara, atau keduanya agama sekaligus negara. Pertanyaan tersebut bukan pertanyaan latah atau mimpi di siang bolong, tetapi pertanyaan yang harus dijawab meskipun akhir jawaban itu secara akademis juga akan berpihak. Dasar-dasar yang digunakan, baik bersumber pada al-Qur’ân maupun H}adîth atau sejarah Islam tidak secara tegas menjelaskan apakah Islam sebagai agama dan negara, atau agama saja. Demikian pula tidak ada dasar yang menyatakan bahwa agama terpisah dari negara, atau negara terpisah dari agama. Demikian pula ketika merujuk pada tradisi sejarah sebagaimana ulama fiqh Sunnî menjelaskan tentang hubungan agama dan negara dengan mengambil contoh peristiwa-pristiwa politik dalam pemilihan/pengangkatan al-Khulafâ’ al-Rashidûn. Dalam kasus khalîfah sulit dibedakan antara urusan politik dan agama. Apakah berkumpulnya sahabat di Thaqîfah Bani Saîdah atas nama agama atau politik, atau kedua-duanya, memang sulit untuk dijelaskan secara komprehensif. Demikian pula apakah para khalîfah itu memerintah atas nama agama atau kekuasaan semata juga tidak bisa diuraikan dengan menyeluruh, karena sulitnya membedakan antara urusan agama dan keduniaan. Begitu pula ketika Nabi masih ada, baik ketika berada di Mekkah maupun Madinah. Apakah Nabi memerangi kaum kafir yang membangkang itu atas nama agama atau kepala negara, atau keduanya, tidak bisa dijelaskan secara pasti. Tapi satu hal yang perlu dicatat bahwa Islam lahir di sebuah wilayah yang tak bernegara, yang tidak memiliki aturan-aturan administratif sebagaimana layaknya sebuah negara. Islam lahir dengan mengusung peradaban modern dengan berusaha membawa aturan-aturan itu di tengah masyarakat Arab yang sulit ditaklukkan dengan aturan-aturan. Aturan-aturan itu memerlukan kekuasaan yang mewakili komunitas mereka untuk melaksanakannya seperti hukuman bagi pencuri, pezina, dan yang lainnya. Fakta di atas tidak bisa dielakkan lagi ketika Islam berkembang begitu cepat sehingga memerlihatkan batas wilayah Islam dan non-Islam. Dari sinilah maka Thaqîfah Bani Saîdah merupakan balai pertemuan orang Ans}âr dan Muhâjirîn untuk membahas kepemimpinan umat Islam setelah Nabi meninggal. Kasus seperti ini juga terjadi pada agama manapun dan dalam kondisi apapun. Sementara dalam konteks Islam semakin tidak jelas karena dasar-dasar yang ada dalam al-Qur’ân maupun H}adîth tidak memberikan penjelasan yang memadai. Dalam Islam cuma mengenal istilah dâr al-h}arb atau dâr al-Islâm. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA kemudian payung politik diperlukan, Islam adalah hukum dan setiap hukum atau aturan harus ada orang yang memerintah. Nabi tidak memberikan aturan yang jelas tentang kepemimpinan sesudahnya. Demikian pula tentang kepemimpinan seperti apa yang layak dilaksanakan, dan kriterianya juga Nabi tidak memberi khilafah dan penyebutan khalîfah merupakan hasil ijtihad para sahabat Sabda Nabi antum alam bi umûr dunyâkum yang menganggap bahwa kepemimpinan sesudah Nabi tidak boleh kosong dan karenanya perlu seorang pemimpim yang bernama “khalîfah”. Pertemuan di Thaqîfah tersebut untuk memilih khalîfah adalah pertemuan yang tidak direncanakan dengan matang, tergesa-gesa dan tidak memiliki dasar teologis yang kuat. Apalagi tidak semua unsur sahabat penting hadir dalam musyawarah tersebut. Namun peristiwa di Thaqîfah selalu dijadikan dasar dalam tradisi fiqh Sunnî khususnya dalam menganalogkan tradisi kepemimpinan yakni pertama, khalîfah tidak membicarakan negara sebagai institusi melainkan difokuskan kepada orang yang akan dibay’at untuk memerintah berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Kedua, khalîfah hanya ada satu orang dalam wilayah Islam, sementara di bawahnya terdiri dari gunernur. Ketiga, khalîfah berdasarkan pilihan bukan “teks” dalam tradisi Shîah.Peristiwa politik di Thaqîfah dan kemudian melahirkan generasi khalîfah utama dari Abû Bakar hingga Alî b. Abî T}âlib menjadi dasar hukum politik dalam tradisi Sunnî yang kadang tanpa melihat makna-makna penting di balik semua peristiwa tersebut. Apakah sistem khalîfah merupakan sebuah sistem politik Islam atau hanya sebuah ambiguitas politik. Apabila dikritisi secara mendalam baik tradisi sistem khalîfah pada masa-masa awal atau pemikiran politik Sunnî era belakangan, ambiguitas tersebut semakin menonjol melihat banyaknya kekurangan dalam sistem khalîfah. Ada beberapa poin penting yang perlu dicermati dalam tradisi khalîfah. Pertama, tidak ada batasan bagi jabatan khalîfah. Keempat al-Khalîfah al-Râshidah tidak memiliki batasan jabatan sehingga sulit diukur untuk dikatakan sebagai sesuatu yang ideal. Kedua, tidak ada pola atau tata cara bagaimana memberhentikan khalîfah yang korup, tidak menjalankan undang- Munculnya H}adîth al-aimmah min Quraysh lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa masyarakat Arab tidak bisa tunduk selain pada suku Quraysh. Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syari’ah, terj. Mujiburrahman Yogyakarta Pustaka Fajar Baru, 2001, 66-67. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 undang atau sudah tidak mampu lagi menjalankan tugas keseharian. Kasus al-Khulafâ’ al-Râshidûn, tiga dari empat khalîfah adalah meninggal sebelum kekuasaannya habis. Ketiga, tidak ada metode yang tepat bagaimana memilih khalîfah. Peristiwa di Thaqîfah adalah peristiwa politik emergency, tergesa-gesa dan di luar rencana. Pergantian dari Abû Bakr ke Umar b. al-Khat}t}âb adalah cara tidak ideal karena dapat menimbulkan fitnah, demikian pula pengangkatan Alî b. Abî T}âlib sebagai khalîfah tidak mencerminkan idealitas syarat-syarat pemimpin modern. Hanya cara yang dilakukan oleh Umar bisa dikatakan sebagai cara yang terbaik dibandingkan dengan ketiga cara sebelum dan sesudahnya. Keempat, tidak ada batasan wewenang seorang khalîfah. Mulai dari Abû Bakr hingga Alî pola kepemimpinannya mirip dengan “panglima perang” yang bisa memerintah kapan dan dalam situasi apa saja. Masalah pembatasan wewenang tidak sampai dipikirkan waktu itu karena umat Islam disibukkan dengan penaklukan dan ekspansi wilayah. Realitas politik di atas melahirkan berbagai pandangan yang berbeda di kalangan umat Islam. Pandangan pertama menyatakan bahwa agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Pandangan kedua adalah agama dan negara berhubungan secara simbiotik, agama dan negara saling mengisi satu sama lain. Pandangan ketiga, bahwa agama terpisah dari negara sekuler. Perbincangan soal hubungan negara dan agama dalam Islam, khususnya pada masa-masa awal menjadi landasan dan pijakan pemikir Muslim untuk menentukan gerakan dan ideologi politik Islam. Perdebatan hubungan Islam dan politik khususnya keterkaiatannya dengan ideologi politik semakin menguat ketika ideologi-ideologi besar seperti Sosialis-Marxisme, Liberalisme, Kapitalisme masuk ke dalam ruang Muslim yang bersamaan dengan kesadaran umat Islam untuk menata kehidupan setelah sekian tahun lamanya tenggelam dalam keterpurukan sejarah. Ideologi-ideologi besar tersebut pada satu sisi menggeser keyakinan dan cita-cita yang ada dalam Islam, sebagian berusaha untuk mengawinkan antara Islam dan ideologi Barat, sementara ada sebagian yang lain berusaha untuk mengusung “Islam” sebagai ideologi murni. Yang dimaksud dengan ideologi di sini adalah interpretasi keagamaan dari berbagai ide yang saling berkaitan yang ada dalam aliran-aliran Islam, yang Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA merefleksikan moral, kepentingan, serta komitmen ini memandang bahwa semua unsur ideologi umumnya diterima sebagai formulasi filosofis yang bersifat tentatif, yang perumusannya disesuaikan dengan perubahan sosial-budaya. Tentang ideologi politik Islam ini pada satu sisi tidak bisa dipisahkan dari kenyataan fakta-fakta politik pada masa Nabi yang kemudian dilanjutkan oleh al-Khulafâ’ al-Râshidûn, juga adanya tuntutan terhadap dinamika yang berkembang di luar Islam. Dalam konteks ini, banyak muncul pemikiran baru ideologi politik Islam untuk mengggabungkan antara Islam dan ideologi Barat modern. Seorang pemikir politik modern Pakistan Abû al-Ala al-Mawdûdî menyatakan bahwa sangat sulit menerapkan konsep ideologi politik sebagaimana pada masa Nabi dan al-Khulafâ’ al-Râshidûn di tengah umat Islam saat ini, apalagi jika ada tuntutan untuk menerapkan demokrasi sebagai semangat utama umat Islam. Karena Islam dan demokrasi pada satu sisi memiliki persamaan tapi pada sisi lain memiliki garis demarkasi yang jelas yang membedakan soal kedaulatan Tuhan dan kedaulatan agama. Ideologi politik modern selalu mengedepankan prinsip kedaulatan manusia sebagai pijakan utama dalam proses pengambilan keputusan politik, sementara dalam Islam semua keputusan harus dikembalikan kepada ajaran utama Islam, yakni al-Qur’ân dan H}adîth. Dalam pengertian ini, keputusan manusia tidak berarti lagi apabila bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk mencairkan kebuntuan ini al-Mawdûdî menawarkan apa yang disebut dengan teo-demokrasi, yakni demokrasi yang dilandasi dengan semangat ketuhanan, demokrasi yang bersumber dari ajaran-ajaran menyadari bahwa terdapat beberapa titik dalam ideologi politik Islam yang tidak selamanya beriringan dengan tuntutan demokrasi ala Barat sekarang. Sementara dia juga menyadari bahwa tidak mungkin kembali pada tradisi Nabi dan al-Khulafâ’ al-Râshidûn dalam mengembangkan ideologi politik. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran politik Ibn Taymîyah, bahwa agama tidak bisa hidup tanpa negara dan dalam menjalankan sebuah negara tidak Terrence Ball dan Richard Dagger, Political Ideologies and the Demodratic Ideal New York Harper Collins College Publishers, 1995, 9. Lihat Abu A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, terj. Muhammad Baqir Bandung Mizan, 1994, 440. al-Maududi tidak spesifik menyebut istilah tersebut, namun pemeikiran-pemikiran politiknya selalu mengarah pada pandangan tersebut. Ibid. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 mungkin kembali lagi ke dalam tradisi awal umat ideologi politik Islam akan selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan umat Islam tersendiri. Secara teoretis, ideologi politik Islam lebih dekat dengan ideologi sosialis, karena semangat yang dibangun oleh Islam adalah dalam rangka membela kaum mustad}afîn orang-orang lemah. Menurut Ibn Taymîyah, apapun paham yang dianut oleh suatu negara harus mampu memelihara agama dan memerhatikan kesejahteraan dari Fundamentalisme Ideologi politik Islam tidak dapat dilepaskan dengan gerakan fundamentalisme. Fundamentalisme memberikan ruang yang ikut andil dalam memerkuat ideologi politik Islam. Fundamentalisme lahir, tumbuh dan berkembang setelah Rasulullah meninggal, tepatnya 200 tahun sesudahnya. Fundamentalisme selalu diidentikkan dan dihubungkan dengan agama. Baik di Barat maupun Islam, gerakan fundamentalisme sangat melekat dengan isu-isu agama seperti purifikasi, kebangkitan, reinterpretasi. Namun menurut Graudy, fundamentalisme merupakan fenomena yang tidak terbatas pada agama terdapat fundamentalisme pada wilayah politik, sosial dan budaya. Karena baginya, fundamentalisme merupakan pandangan yang ditegakkan atas keyakinan, baik bersifat agama, politik atau budaya yang dianut pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya di masa lalu dalam mengelompokkan fundamentalisme sebagai fenomena budaya dan sosial yang berdiri sendiri memang tidak mudah, karena isu-isu agama sangat melekat dan selalu memiliki hubungan dengannya. Karena hampir semua fenomena bisa berhubungan dengan masalah sosial. Tugas sosiologi adalah mengelompokkan, mengkatagorisasi dan menempatkan secara sosial semua fenomena termasuk di dalamnya fundamentalisme pada agama. Berbagai kasus di dunia Islam khususnya Mesir dan Saudi Arabia gerakan fundamentalisme berawal dari kelompok agama yang tidak Qomarudin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, terj. Anas Mahyudin Bandung Pustaka, 1983, 309. Ibid. R. Graudy dalam Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme Jakarta Paramadina, 1996, 108. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA mampu beradaptasi dengan perubahan sosial dan kemudian melakukan respons dengan menggunakan tafsir agama. Kelompok ini kemudian muncul sebagai gerakan sosial yang terorganisir yang di dalamnya selalu menggunakan dasar dan argumen teologis untuk melawan tirani atau ketidakadilan sosial. Azyumardi Azra mengelompokkan gerakan ini menjadi dua tipologi, yakni pra-modern dan kontemporer neo-fundamentalisme, dalam istilah lain juga disebut dengan fundamentalisme tradisional dan muncul disebabkan oleh situasi dan kondisi tertentu di kalangan Muslimin, karena itu lebih genuine dan inward oriented. Fundamentalisme kontemporer muncul sebagai reaksi terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial, budaya, politik dan ekonomi Barat, baik melalui kontak langsung maupun melalui pemikir itu pembahasan fundamentalisme sebagai fenomena sosial di kalangan Muslim tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai masalah isu-isu agama yang melatari kemunculannya, yang berasal dari respons terhadap perubahan sosial yang begitu cepat. Gerakan fundamentalisme menurut analisis Reisenbrodt bersumber dari perubahan sosial dengan segala akibat yang ditimbulkannya, kemudian melahirkan respons yang beragam di kalangan masyarakat. Dari respons ini, ada upaya untuk mengounter dengan argumen-argumen teologis dalam rangka counter terhadap perubahan tersebut. Counter tersebut dalam ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai tesis kemudian melahirkan antitesis dan beranjak pada tesis lagi. Untuk melihat kasus fundamentalisme sebagai fenomena sosial yang berkembang di dunia, akan digunakan sudut pandang Martin E. Marty, seperti yang dikutip Azyumardi Azra, untuk memetakan prinsip dan elemen gaya fundamentalisme. Menurutnya, ada empat prinsip dan gaya fundamentalisme Pertama, prinsip fundamentalisme adalah oppositionalism paham perlawanan. Semua bentuk modernitas, sekularitas dan tata nilai Barat yang dapat mengancam eksistensi agama akan dilawan. Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Teks al-Qur’ân harus dipahami secara lateral-apa adanya. Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi fundamentalisme, pluralisme Lihat Jainuri, Orientasi Ideologis, 73-74. Azra, Pergolakan Politik Islam, 111. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap kegamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum fundamentalis merupakan bentuk dari relativisme kegamaan. Keempat, adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan bahwa, perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Perkembangan masyarakat dalam sejarah dilihat sebagai as it should be bukan as it is. Dalam kerangka inilah masyarakat harus menyesuaikan perkembangannya, bukan sebaliknya, teks atau penafsiran yang mengikuti di dunia Islam, fundamentalisme tidak dapat dilepaskan dari sejarah Saudi Arabia dan Mesir, dua negara yang ingin ikut membangun ideology tersebut. Tokoh dan para ulama di dua negara tersebut berusaha untuk mengobarkan semangat kembali kepada ajaran al-Qur’ân dan H}adîth, atau yang dikenal dengan sebutan gerakan pemurnian’. Ada hubungan yang sangat erat antara ajaran Saudi modern dengan semangat yang dikembangkan oleh Ah}mad b. H}anbal 780-855 dan Ibn Taymîyah 1263-1328 yang sama-sama memelopori ajaran kembali pada al-Qur’ân dan H}adîth dengan meninggalkan ajaran yang berbau bidah dan khurafât. Sebelum munculnya kelompok fundamentalis modern akhir 1980-an dan awal 1990-an, kelompok-kelompok radikal sudah lama berkembang dengan menjadikan institusi negara sebagai basis perjuangannya. Secara umum ada tiga faktor yang melatari munculnya fundamentalisme di Saudi Arabia Pertama, bentuk kritik terhadap rezim yang berkuasa yang selalu mengatasnamakan agama sementara dalam praktiknya sudah keluar dari agama. Hak otoritatif terhadap satu kelompok agama, “Wahhabi” memicu absolutisme di kalangan masyarakat. Di samping itu juga kritik dilancarkan pada ruling family yang kemudian membius masyarakat bahwa tanpa Ibn Saud family Saudi tidak bisa berjaya. “Kita harus mengikuti Islam yang benar sebagaimana Islam yang dibawa oleh Nabi dan para sahabat, bukan mengikuti apa yang dikatakan oleh ulama yang korup” demikian oposisi mengatakan. “Wahabi untuk saat ini tidak punya otoritatif mengatasnamakan agama”. Para aktivis Ibid., 109-110. Ibid., 6. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA meminta agar dipisahkan antara urusan politik, publik, pribadi dan bisnis. Sebab di sinilah letak terjadinya korupsi di lingkungan kerajaan. Aktivis meminta agar didefinisikan ulang aturan bernegara, permainan urusan pribadi dan publik, kejelasan aturan hukum dan sistem kekerabatan yang tidak jelas. Kedua, sikap kritis karena pembatasan yang berlebihan terhadap semua gerakan sosial yang ada di Arab Saudi. Dengan kekuatan minyak yang melimpah, kerajaan membiayai besar-besaran operasi intelijen untuk membungkan kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Jaringan keluarga kerajaan juga ikut membantu memersempit gerakan kelompok radikal, meskipun akhirnya juga bisa lolos. Salah satu ungkapan yang selalu dikatakan oleh aktivis Saudi untuk melawan penguasa yang membela kepentingan Amerika “Masyarakat Arab paling tahu tentang gurun. Mereka bisa survive sebab secara reguler keluarga menghabiskan tiga bulan di kamp gurun. Orang Amerika butuh air mineral untuk bisa hidup, orang Saudi Arabia cukup minum lumpur untuk bisa hidup”. Ketiga, sikap kritis dilancarkan kepada dominant narrative kerajaan. Sikap kritis pada konstruk sejarah Saudi Arabia yang penuh tipu muslihat dengan menggunakan dasar agama untuk memobilisasi dan menghipnotis masyarakat dengan segala dalih dan tipu daya. Sikap kritis ditujukan pada Abdul Aziz dan keluarga kerajaan yang selalu menganggap dirinya sebagai pemersatu antar suku, menikahi sekian istri demi menjaga kesatuan masyarakat Arab, penjaga agama, dan segala bentuk agitasi untuk melemahkan posisi tawar itu akar fundamentalisme di Mesir berawal dari pendudukan Napoleon Banoparte yang membawa angin modernisasi. Tak lama setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali Pasya 1769-1849 menindaklanjuti modernisasi tersebut dengan berbagai cara di antaranya mengirimkan beberapa sarjana ke Eropa untuk belajar strategi perang, memerkenalkan model irigasi modern, membuka percetakan dan modernisasi pemerintahan. Muhammad Ali memerkenalkan apa yang disebut dengan “westernisasi”.Cara yang digunakan oleh Muhammad Ali mendapatkan sambutan hangat di kalangan masyarakat Mesir, namun tidak sedikit yang mencurigai akan dampak negatif modernisasi tersebut. Di antara yang bersikap hati- Ibid., 6-8. David Sagiv, Islam Otentisitas Liberalisme, terj. Yudian W. Asmin Yogyakarta LKiS, 1997, 10. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 hati dan terkadang reaktif adalah Jamâl al-Dîn al-Afghânî 1839-1897 dan Muh}ammad Abduh 1845-1905. Di berbagai kesempatan khususnya ketika mengajar dan tulisan-tulisannya dalam al-Urwah al-Wuthqâ tali yang kokoh, al-Afghânî menekankan bahaya yang akan ditimbulkan oleh Barat dan pengaruhnya di dunia Islam, dengan menekankan perlunya persatuan di kalangan umat Islam dalam rangka menangkal bahaya al-Afghânî maupun Abduh menyerukan kepada umat Islam agar kembali kepada ajaran agama yang benar dengan mendengungkan purifikasi dan meninggalkan bidah. Keduanya tidak menolak modernisasi, tapi bagaimana menyikapi dengan bijak isu-isu modern dalam kerangka keIslaman. Sementara murid Abduh, Muh}ammad Rashîd Rid}â 1865-1935 yang menjadi penggerak kebangkitan Islam sesudahnya mementingkan perlunya penegakan kembali institusi khilâfah sebagai alternatif terhadap nasionalisme yang ia tantang. Premis yang digunakan adalah pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang berasal dari wahyu, dan tidak ada kehidupan normal dan bahagia kecuali dengan pemerintahan semacam itu. Pemikiran Rid}â sebagai bentuk kritik terhap model pemerintahan yang dikembangkan oleh pemerintah Mesir waktu itu. Pada era ini, ada empat aliran politik yang menggelinding di Mesir. Pertama, aliran Barat yang menggemakan peniruan terhadap Barat dalam semua aspek kehidupan. Kedua, aliran religius anti-Barat yang berusaha merestorasi kejayaan Islam dengan cara kembali pada sumber-sumber agama. Ketiga, aliran nasionalis lokal yang tidak memberikan prioritas nasionalisme universal dan Pan-Islamisme. Keempat, nasionalisme Pan-Arab yang muncul pada akhir 1800-an dan menjadi intens pada abad 20 di mana banyak komunitas Kristen terlibat di fundamentalisme merupakan respons atas modernitas yang berkembang di Mesir waktu itu. Secara umum Islam modernis dapat dikatagorikan dengan tiga hal. Pertama, kecenderungan untuk membatasi muatan tradisi otoritatif sebagaimana yang dikembangkan oleh pemahaman terhadap sumber-sumber utama ajaran Islam al-Qur’ân-H}adîth. Hal ini bukan berarti menolak tradisi, tetapi Ibid., 13. Lihat pula Daniel Crecelius, “Nonideological Responses of The Egyptian Ulama to Modernization”, dalam Nikki R. Keddie, Scholars Saints and Sufis California University of California Press, 1978, 166-209. Sagiv, Islam Otentisitas, 24-5. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA berkecenderungan untuk melakukan seleksi yang ketat. Kedua, mereinterpretasi terhadap sumber-sumber otoritatif, khususnya terhadap beberapa sumber yang membawa implikasi luas munculnya pertentangan di kalangan Muslim seperti poligami, hukuman h}add, jihad, perlakuan terhadap orang murtad/kafir, pandangan terhadap isu-isu modern, kesaksian wanita, hak-hak suami istri. Beberapa reinterpreasi yang dikembangkan adalah memerbolehkan poligami dengan pertimbangan yang sangat ketat, memahami jihad sebagai defensive war, dan mengkaji ulang pandangan Muslim terhadap non-Muslim. Ketiga, sikap apologetik yang menghubungkan aspek-aspek tradisi Islam dengan tradisi Barat, dan mengklaim bahwa Barat pada dasarnya mengambil tradisi Islam. Menurut Shepard, hal tersebut dianggap sebagai identifikasi sederhana sebagai penulis tentang Nasser yang menyatakan bahwa demokrasi di Yugoslavia meniru demokrasi langsung di Mesir. “Konsep demokrasi belakangan ini tidak asli lagi. Demokrasi yang original dapat ditemukan dalam demokrasi Islam awal”. Praktik yang dikembangkan di Barat menurut para apologis adalah bersumber dari tradisi Islam sebagaimana konsep shûrâ. “Dalam terminologi politik modern shûrâ adalah demokrasi. Islam tidak menjelaskan bentuk, tipe dan tingkatan dalam demokrasi tetapi membiarkannya berada dalam pikiran Muslim dengan memertimbangkan aspek waktu dan tempat”.Gema kebangkitan dan fundamentalisme mencapai puncaknya pada abad 20 ketika kekhalîfahan Islam Turki Ustmani bubar. Pada tahun 1928 gerakan al-Ikhwân al-Muslimûn IM muncul yang dipelopori oleh H}asan al-Bannâ. Al-Bannâ adalah aktivis pada kelompok kajian al-Mannâr yang dipimpin oleh M. Rashîd Rid}â dan secara konsisten mengikuti ajaran-ajaran konservatif Rid}â. Pada awalnya IM berkonsentrasi pada gerakan salafi dan sama sekali tidak masuk ke area politik, tapi belakangan ketika pengikutnya semakin banyak dan mendapat tempat di hati masyarakat Mesir, IM kemudian menjadi kelompok radikal yang dalam gerakannya selalu bersentuhan dengan wilayah pula ketika ide-ide Sayyid Qut}b 1906-1966 mulai masuk ke model gerakan IM. Meskipun awalnya bukan anggota, tapi Ibid., 415. Ibid. Leonard Binder, Islamic Liberalism Chicago Chicago University Press, 1988, 271. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 setelah kematian al-Bannâ justru Qut}b yang menjadi ikon gerakannya. Di samping para pendahulunya yang memengaruhi alam pikir Qut}b, ia juga dipengaruhi oleh al-Mawdûdî. Namun ada bukti lain bahwa Qut}b di sepanjang kehidupan intelektualnya sangat dipengaruhi oleh konsepsi keyakinan yang emosional, dan bahwa dia memberi sumbangsih besar bagi terbentuknya orientasi fundamentalis baru yang berpotensi melepaskan energi sosial yang dahsyat dalam bentuk gerakan massa yang tidak tunduk pada kendali negara dan tidak pula mengabdi pada elit dan alim ulama tradisional. Salah satu doktrin Qut}b adalah konsep “Jâhilîyah modern”, yakni modernitas sebagai “barbaritas baru”. Meskipun istilah Jâhilîyah modern diadopsi dari al-Mawdûdî, tetapi konsep yang dikembangkan oleh Qut}b lebih berpengaruh. Menurut Qut}b Jâhilîyah modern adalah situasi di mana nilai-nilai fundamental yang diturunkan Tuhan kepada manusia diganti dengan nilai-nilai palsu artificial yang berdasar hawa nafsu duniawi. Jâhilîyah modern merajalela di muka bumi ketika Islam kehilangan kepemimpinan atas dunia, sementara pada pihak lain Eropa mencapai kejayaannya. Untuk menumpas Jâhilîyah modern menurutnya, masyarakat Muslim harus melakukan taghyîr al-aqlîyah, yakni perubahan fundamental dan radikal, bermula dari dasar kepercayaan, moral dan etikanya. Dominasi atas manusia semata-mata dikembalikan kepada Allah, tegasnya Islam sebagai sistem holistik. Jihad harus dihadapkan dengan modernitas. Tujuan akhir jihad adalah membangun kembali “kekuasaan Tuhan” di muka bumi, di mana sharîah memegang supremasi sharîah bukan dalam pengertian sempit sebagai sistem hukum tetapi dalam pengertian lebih luas, yakni cara hidup menyeluruh sebagaimana digariskan memahami bahwa cara yang tepat untuk mengembalikan kekuasaan Allah di muka bumi dengan cara melakukan jihad secara total, fisik maupun non-fisik. Gerakan fundamentalisme di Arab Saudi dan Mesir tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki mata rantai yang kokoh dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Secara ideologi kegamaan, gerakan Saudi dan Mesir mengacu pada gerakan Ah}mad b. H}anbal yang hidup pada abad 8-9 M, kemudian gerakan ini secara sistematis diikuti oleh Ibn Taymîyah dengan semangat kembali kepada ajaran al-Qur’ân dan al-Sunnah secara autentik. Setelah itu muncul Muh}ammad b. Abd al- Ibid., 270. Azra, Pergolakan Politik, 120-1. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA Wahhâb, pendiri gerakan Wahabi. Para era ini gerakan fundamentalisme lebih terbentuk dan memiliki akses yang sangat luas, sehingga fundamentalisme berkembang secara pesat di Saudi Arabia. Sementara gerakan fundamentalisme di Mesir khususnya yang dilakukan oleh al-Ikhwân al-Muslimûn merupakan respons terhadap modernisasi dengan menggunakan argumen teologis untuk mengounternya. Sama seperti Saudi Arabia, gerakan di Mesir juga menjadikan Ibn H}anbal dan Ibn Taymîyah sebagai ikon dan spirit gerakan, khususnya dalam pembaruan melalui pemurnian ajaran Islam. Sementara sikap terhadap gerakan Wahhabi justru sebaliknnya, ada usaha untuk melakukan perlawanan karena alasan perbedaan sudut pandang. Secara lebih spesifik, mengutip pendapat Abdul Chalik, berikut ini adalah mata rantai tersebut. Mata rantai gerakan fundamentalisme di Saudi Arabia dan Mesir Ah}mad b. H}anbal 780-855 Ibn Taymîyah Kasus di Saudi Arabia 1263-1328 Muh}ammad b. Abd. Wahhab 1703-1878 Modernisasi M. Ali Pasya 1769-1849 Respons terhadap modernisasi Westernisasi Jamâl al-Dîn al-Afghânî 1939-1897 Muhammad Abduh1845-1905 Embrio fundamentalisme/ gerakan sosial keagamaan M. Rasyid Rida 1865-1935 Hasan al-Banna 1906-1949 Fundamentalisme/gerakan Sosial politik Sayyid Qut}b 1906-1966 Lihat Abdul Chalik, Islam dan Kekuasaan Yogyakarta Interpena, 2012, 45. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 Perbedaan mencolok antara periode al-Afghânî dengan al-Bannâ terletak pada model gerakan yang dikembangkan. IM sebagai organisasi sosial kemudian merambah ke dunia politik, dan akhirnya menjadi gerakan bawah tanah yang memiliki pengaruh luas seantero Mesir. Bahkan IM juga mengembangkan sayap pengaruh di kawasan Arab seperti Yordania, Suriah, Arab Saudi, dan Palestina. “Palestine Revolt 1936” dijadikan sebagai momentum perluasan pengaruh IM yang kemudian menjadi prototype gerakan-gerakan fundamentalis di banyak negara berpenduduk Muslim. Sesudah kematian Qut}b tahun 1966, gerakan fundamentalis IM bukan berhenti, bahkan lebih radikal dan revolusioner, dan masih berlangsung hingga sekarang meskipun dengan nama dan model yang berbeda. Masa Depan Politik Islam Indonesia Perbincangan Islam sebagai ideologi politik mulai santer terdengar sejak munculnya Piagam Jakarta. Piagam tersebut merupakan teks rancangan undang-undang yang secara tegas menempatkan agama Islam sebagai dasar negara. Salah satu bunyi teks tersebut adalah, “……Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan sharîah Islam bagi pemeluknya”, Teks tersebut secara tegas menyatakan Islam sebagai filosofi, dasar, landasan bagi pemeluknya yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini. Namun, penggunaan tujuh kata tersebut terus mengalami perdebatan hingga akhirnya sidang konstituante pada taggal 2 Juni 1959 yang dipimpin Soekarno, dengan suara mayoritas, 263 setuju untuk kembali ke teks UUD yang lama dengan menghilangkan tujuh kata tersebut. Perdebatan antara yang mengusulkan, menolak dan menerima tujuh kata dalam rancangan teks UU tersebut merupakan gambaran peta ideologis umat Islam pada masa-masa awal. Dari kalangan Islam di tim sembilan perumus UU, terpetakan ke beberapa kelompok Islam, yakni modernis, tradisional, fundamentalis dan nasionalis. Perdebatan antara menolak dan menerima memerlihatkan bagaimana Sebelum Indonesia secara resmi memerdekakan diri tahun 1945, Badan Penyilidik yang terdiri dari berbagai kalangan yang beranggotakan 9 orang, yaitu Hatta, Subardjo, Soekarno, Maramis, Kahar Muzakir, Wachid Hasyim, Abikusno dan Agus Salim menyuiapkan kerangka dasar Undang-Undang yang kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta Jakarta Charter. Lihat Ali Haidar, NU dan Islam Indonesia Jakarta Gramedia, 1994, 244. Ibid. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA ideologi organisasi memberikan pengaruh dalam perumusan sebuah ideologi negara. Jauh sebelum rumusan rancangan UU tersebut mengerucut pada usaha formulasi hukum Islam sebagai ideologi negara, perdebatan ideologi politik Islam sudah mengemuka. Dua organisasi besar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang lahir sebelum munculnya wacana sharîah Islam dalam rancangan undang-undang sudah terlebih dahulu terlibat dalam perbincangan serius soal ideologi negara. NU dan Muhammadiyah memiliki sejarah kelahiran yang berbeda yang kemudian diusung menjadi ideologi gerakan mereka. NU yang pada awalnya bermazhab pada Hijazdan Muhammadiyah kepada Kairodari sisi latar belakang keagamaan memiliki corak dan perspektif yang berbeda. NU dikenal dengan ideologi tradisional sementara Muhammadiyah dikenal dengan corak modernis. Perbedaan pandangan tentang ideologi negara juga tergambar ketika NU menjadi partai politik pada tahun 1955, sementara Muhammadiyah melebur ke Masyumi meskipun tidak sedikit dari Ormas selain Muahmmadiyah masuk ke Masyumi. Debat soal ideologi politik Islam baik di parlemen maupun di luar parlemen didominasi oleh dua kubu tersebut NU dan Muhammadiyah, baik pada Pemilu 1971, era fusi partai tahun Pada tahun 1922 sampai 1926, para aktivis dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama yang disebut “Kongres al-Islam” untuk membicarakan masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Kongres di antaranya diadakan di Mekkah Hijaz dan Kairo. Para ulama pesantren di Jawa Timur cenderung untuk menghadiri kongres di Hijaz karena ada persamaan pandangan soal materi-materi yang dibahas, dan pada saat itulah kemudian membentuk “Komite Hijaz” yang merupakan cikal bakal kelahiran NU. Lihat Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi Kuasa, dan Pencarian Makna Baru, terj. Farid Wajidi Yogyakarta LKiS, 1994, 33-35. Sementara Muhammadiyah dan Sarekat Islam cenderung memilih kongres di Kairo, karena di antara paham pembaharuan Muhammadiyah sangat dekat dengan paham Muh}ammad Rashîd Rid}â. Ibid., 33. Selain NU dan Muhammadiyah, sebenarnya masih banyak Ormas yang mengusung ideologi berbeda, sebagaimana Sarekat Islam SI, Persis, LDII, dan beberapa Ormas kecil. Namun suara mereka tidak terlalu signifikan dan dari sisi gerakan lebih bersifat lokal dan insidentil. SI misalnya, setelah Tjokroaminoto meninggal, hanya sedikit para tokoh yang ikut mengembangkan Ormas tersebut dan bahkan hanya terpusat di Solo dan sebagian kecil di kota lain. Lihat Lathiful Khuluq, “Sarekat Islam Its Rise, Peak, and Fall”, al-Jamiah, No. 60 1997, 247-267. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 1973,era Khittah NU tahun 1984. Namun demikian, kedua Ormas tersebut tidak mampu menembus kekuasaan Orde Baru yang selalu menggunakan tangan besi untuk melawan aktivis Islam yang berusaha untuk mengusung ideologi Islam dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Debat soal ideologi politik Islam hanya sebatas wacana dan menjadi isu-isu partisan untuk memengaruhi publik, karena tidak mampu menembus level negara. Apalagi usaha pembungkaman melalui pemaksaan untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara oleh pemerintah dijalankan sangat efektif dengan memotong kekuatan politik di lembaga resmi seperti legislatif. Sejak tahun 1990-an, berbagai unsur Islam memeroleh peluang yang semakin luas dalam ruang-ruang negara. Pergeseran posisi Islam yang semakin ke tengah dalam panggung politik ini sering disebut “politik akomodasi Islam”. Setidaknya ada empat pola akomodasi yang menonjol pertama, “akomodasi struktural”, yakni dengan direkrutnya para pemikir dan aktivis Muslim untuk menduduki posisi penting dalam birokrasi negara. Kedua, “akomodasi infrastruktur”, yakni penyediaan dan bantuan infrastruktur bagi kepentingan umat dalam menjalankan kewajiban agama mereka. Ketiga, “akomodasi kultural”, berupa diterimanya ekspresi kultural Islam ke dalam wilayah publik seperti pemakaian jilbab, baju koko hingga ucapan al-salâm alaykum. Keempat, “akomodasi legislatif” yakni upaya untuk memasukkan aspek hukum Islam menjadi hukum negara, meskipun bagi umat Islam saja. Setelah era reformasi yang sukses menumbangkan rezim Soeharto pada tahun 1998 dengan dibukanya kran demokrasi dan kekebasan berpolitik praktis, perbincangan Islam sebagai ideologi politik mencapai puncaknya. Bersamaan dengan itu, Ormas Islam yang selama Orde Baru tiarap dan lebih banyak bergerak di bawah tanah Setelah Pemilu 1971, ada usaha untuk menfusi partai-partai oleh Orde Baru karena dianggap tidak efektif. Pada tahun 1973, kemudian lahir PPP yang merupakan gabungan dari NU, MI, PSII, Parmusi dan Perti. Sementara partai nasionalis dan Kristen bergabung dengan PDI. Lihat Saiful Muzani, “The Devaluation of Aliran Politics Views of the Third Congress of PPP”, Studia Islamika, Vol. 1, No. 3 1994, 177-219. Dua tokoh sentral umat Islam pada era tersebut, Gus Dur dan Amien Rais hanya mampu mengusung isu-isu representasi politik umat Islam, atau yang dikenal dengan “Islam struktural”. Sementara Gus Dur hanya bekutat pada wilayah pribumisasi Islam, atau yang dikenal dengan sebutan “Islam kultural” sebagai jawaban atas stagnasinnya peran politik pada era tersebut. Arif Affandi peny., Islam Demokrasi Atas-Bawah Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1997, 2-19. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA bermunculan dengan agenda ideologi politik yang berbeda. Bersamaam dengan era Reformasi, muncul Ormas Majelis Mujahidin Indonesia MMI, Hizbut Tahrir Indonesia HTI, Laskar Ahlus Sunnah Waljamaah, Laskar Jihad, Front Pembela Islam FPI, Dakwah Salafi. Hal yang sama juga terjadi pada partai politik, baik yang secara langsung berafiliasi dengan Ormas Islam maupun yang secara tersembunyi berdiri di belakang Ormas Islam. Baik MMI maupun HTI secara tegas mengusung agenda politik legalisasi hukum Islam dalam sebuah negara, dan menganggap bahwa negara yang tidak menjadikan sharîah sebagai UU dianggap bertentangan dengan Islam. Baik MMI, HTI, FPI, Laskar Jihad yang sering disebut “Gerakan Islam Baru” new Islamic movement merupakan gerakan impor Timur Tengah melalui transmisi gerakan alumni di seluruh para alumni Timur Tengah, gerakan Islam ini dengan cepat menyebar ke masyarakat, baik melalui pesantren, madrasah, h}alâqah, hingga Ormas dan partai politik. Gerakan Islam tersebut selama ini masih tiarap dan mencari momentum untuk tumbuh dan berkembang sebagai alternatif atas reaksi pemerintah yang cenderung sekuler dan keluar dari ajaran Islam. Penutup Yang dimaksud dengan ideologi politik Islam di sini adalah interpretasi keagamaan dari berbagai ide yang saling berkaitan yang ada dalam aliran-aliran Islam, yang merefleksikan moral, kepentingan, serta komitmen sosial-politik. Ideologi politik Islam tidak bisa dilepaskan dari hubungan agama dan negara dalam Islam, terutama gerakan fundamenlaisme yang secara terorganisir baru muncul abad MMI merupakan organisasi fundamentalis yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir. Salah satu hasil Kongres MMI di Yogyakarta tahun 5-7 Agustus 2000, disebutkan bahwa wajib hukumnya melaksanakan sharîah Islam bagi umat Islam di Indonesia dan di dunia pada umumnya. Sementara UUD 1945 buatan manusia, karena tidak sakral dan bisa berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Lihat Abdur Rohim, “Fenomena Fundamentalisme Islam Indonesia MMI”, Akademika, Vol. 16., No. 2 2005, 127-128. Hizbut Tahrir HTdidirikan oleh Taqîy al-Dîn al-Nabhânî 1905-1977, mantan pengikut al-Ikhwân al-Muslimûn dan Hakim di Paletsina. HT Indonesia berusaha untuk melegalisasi khilâfah dalam sebuah negara. Lihat Ainur Rofiq al-Amin, “Transmutation of Ideology Gerakan Hizbut Tahrir”, Akademika, Vol. 16., No. 2 2005, 110-115. Secara jelas tentang sejarah transmisi ini lihat, M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia Jakarta Erlangga, 2002, 71-121. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 19 di Saudi Arabia dan Mesir namun benihnya sudah ditanam sejak era Ibn H}anbal, tiga abad setelah Nabi meninggal. Dalam perkembangannya, muncul berbagai diversifikasi hubungan yang bermuara pada pengejewentahan ideologi politik Islam. Hubungan tersebut adalah Pertama,, hubungan yang bercorak skriptualis-rasional. Polarisasi ini berhubungan dengan pendekatan terhadap sumber al-Qur’ân dan H}adîth. Kecenderungan skriptualistik-rasional melahirkan pemahaman tekstualistik dan literalistik, penasfsiran yang berorientasi pada bahasa. Kedua kecenderungan idealis-realis. Pendekatan pertama cenderung melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam ideal. Termasuk dalam kecenderungan ini adalah penafsiran negara yang bersifat filosofis. Sementara kecenderungan realis menolak terhadap kecenderungan idealis, dan menerima semua kenyataan pemerintahan dalam Islam dengan konsekuensi memberikan legitimasi kekuasaan atau mengontrol kekuasaan. Ketiga, formalis-substantif. Konsep formalistik lebih mengedepankan bentuk dari pada isi. Pembentukan negara menurut paham ini dengan menampilkan simbol keagamaan dalam negara. Sementara kecenderungan substantif lebih menekankan isi daripada bentuk. Dalam wilayah ini, format negara bukan sesuatu yang penting melainkan nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam sejarah Islam Indonesia terdapat polarisasi yang sangat kaya. Sejak zaman pra-kemerdekaan, Islam sudah menunjukkan yang beraneka ragam yang dipresentasikan oleh Ormas atau Orsospol. Oleh para pengamat keberagaman Islam ini diidentifikasi dengan berbagai nama atau label. Ada Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam puritan, Islam skriptualis, Islam substantif, Islam literal, Islam ekstrem, Islam militan, Islam abangan, Islam nasionalis hingga Islam liberal. Demikian pula ketika Islam sudah masuk pada area ideologi politik, baik yang secara terang-terangan memakai baju partai politik maupun Ormas Islam, maupun secara tersembunyi yang berusaha mengusung ideologi politik Islam. Daftar Rujukan Affandi, Arif peny.. Islam Demokrasi Atas-Bawah. Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1997. al-Amin, Ainur Rofiq. “Transmutation of Ideology Gerakan Hizbut Tahrir”, Akademika, Vol. 16., No. 2, 2005. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA al-Jabiri, Muhammad Abid. Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, terj. Mujiburrahman. Yogyakarta Pustaka Fajar Baru, 2001. al-Maududi, Abu A’la. Khilafah dan Kerajaan, terj. Muhammad Baqir. Bandung Mizan, 1994. Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta Paramadina, 1996. Ball, Terrence dan Dagger, Richard. Political Ideologies and the Demodratic Ideal. New York Harper Collins College Publishers, 1995. Binder, Leonard. Islamic Liberalism. Chicago Chicago University Press, 1988. Bruinessen, Martin van. NU, Tradisi, Relasi Kuasa, dan Pencarian Makna Baru, terj. Farid Wajidi. Yogyakarta LKiS, 1994. Chalik, Abdul. Islam dan Kekuasaan. Yogyakarta Interpena, 2012. Crecelius, Daniel. “Nonideological Responses of The Egyptian Ulama to Modernization”, dalam Nikki R. Keddie, Scholars Saints and Sufis. California University of California Press, 1978. Dant, Tim. “A Modern Approach to Ideological Critique” dalam Knowledge, Ideology and Discourse A Sociological Perspective. London Routledge, 1991. Haidar, Ali. NU dan Islam Indonesia. Jakarta Gramedia, 1994. Jainuri, Achmad. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya LPAM, 2004. Khan, Qomarudin. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, terj. Anas Mahyudin. Bandung Pustaka, 1983. Khuluq, Lathiful. “Sarekat Islam Its Rise, Peak, and Fall”, al-Jamiah, No. 60, 1997. Magnis-Suseno, Franz. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta Penerbit Kanisius, 1995. Maliki, Zainuddin. Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya LPPAM, 2004. Mannheim, Karl. Ideology. London Routledge dan Kegan Paul, 1989. Muzani, Saiful. “The Devaluation of Aliran Politics Views of the Third Congress of PPP”, Studia Islamika, Vol. 1, No. 3, 1994. Pecheux, Michel. “The Mechanism of Ideological mis-Recognition” dalam Slavoj Zizek ed., Mapping Ideology. London UK, 1994. Rahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta Erlangga, 2002. Rohim, Abdur. “Fenomena Fundamentalisme Islam Indonesia MMI”, Akademika, Vol. 16., No. 2, 2005. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 Sagiv, David. Islam Otentisitas Liberalisme, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta LKiS, 1997. Wals, David. “Kata Pengantar” dalam David Walls. After Ideology Recovering the Spritual Foundations of Freedom. Washington DC The University of Catholic Press, 1990. ... Realitas keislaman dunia Islam saat ini disuguhi dengan berbagai macam bentuk, di antaranya adalah kelompok Islam yang diidentifikasikan fundamentalis dan ada pula yang moderat. Fundamentalisme merupakan sebuah paham keagamaan yang seluruh pandangan dunia dan kehidupannya didasarkan pada kitab suci Chalik, 2015;Noor, 2016;Zulfadli, 2017. Jadi, ideologi fundamentalisme merupakan sebuah paham keagamaan yang menggunakan agama sebagai sistem politik dan kitab suci dijadikan sebagai landasan berpijak. ...Albeit the research into Junaid Sulaeman as the most famous Islamic Cleric in South Sulawesi was extensively undertaken, little empirical research addressed his political biography. This research aimed to explore his political Hijrah from Islamic fundamentalism to Islamic moderate. This research adopted a biography study design. To collect data, a documentary analysis based on Junaid Sulaeman’s diary and in-depth interview were conducted. The data analysis was carried out thematically using Azra’s and Al-Jauhari’s concept of fundamental and moderate Islam. The research revealed three findings. First, Junaid Sulaeman’s political Hijrah was conducted from Darul Islam toward Golongan Karya party. Second, the factors that drove Junaid Sulaeman’s participation in the political movement included the changing of socio-political context, the breadth and depth of his religious knowledge, the need to get Allah's guidance, and the consideration of dawah. Third, the implications of Junaid Sulaeman's political movement were known from the expansion of his local and national network, as well as the development of socio-religious institutions in Bone. The research concluded that a good cooperation between the ulama and the government could provide more benefits and blessings to the community. Irham IrhamZakaria Husin LubisThis article is written to explain the dynamics of contemporary Islamic thought and the role of Islamic education as one of its supports. The dynamics of Islamic thought are diverse but have the same character that is opposite thoughts and thoughts that seek common ground. The opposite thoughts depicting here are Islamic fundamentalism and liberalism. Then the thought that seeks common ground here is called hybrid thought. This article is a literature review by utilizing the findings in the previous study formulated into new findings that have not been discussed in the previous study. This paper concludes that the dynamic of contemporary Islamic thought with its character grows not from the role of Islamic education. Although it cannot be denied that the role of Islamic education in this case is not the only one, because there are other factors such as historical, political, technological, globalization, modernization, social and cultural contexts. Fundamental Islamic thought can be sustained and developed by an ideological-purist Islamic education model manhaj salafi. Likewise, the form of liberal thinking and development by an academic-scientifically oriented, rational and secular model of education. Hybrid forms of thought that are supported by a moderate-inclusive education model that develop textual-contextual methods, balance nasal sources, reason and intuitive, accommodate old and modern traditions that are still relevant and do not conflict with religious values. الملخص هذه المقالة تقصد لشرح ديناميات الفكرة الاسلامية المعاصرة و دور التعليم الاسلام الذي أصبح في عداد من دماعته . أن ديناميات الفكرة الاسلامية مختلفة ولكن لديها صبغة يعنى الفكرالذي ينعكس بعضها بعضا، والفكر الذي يسعى النتيجة . والفكر المنعكس الذى شرح هنا هي الأصولية والليبرالية الاسلام . ثم الفكرالذي يبتغي النتائج هنا يسمى بفكر الهجين . هذا المقال يقولب مراجعة الادبيات التى تستخدم النتائج في دراسة السابق ثم وضعت ليكون المكتشف الجديد الذي لم يبحث في دراسة السابق . هذه الكتابة تجمل أن ديناميات الفكرة الاسلامية المعاصرة مع طبيعتها نشأت لا تتخلع من دور التعليم الاسلام . وعلى الرغم ، لاشك أن دور التعليم الاسلام ليست وحدة في هذه الحالة ، لأن هناك عوامل أخرى مثل العوامل التاريخ ، والسياسية ، والتكنولوجي ، والعولمة ، والتحديثة ، وسياق الاجتماعية والثقافية . الفكرة الاسلامية الاصولية مستمرة و يبنى أو يولد عن شكل التعليم الاسلام العقائدي المنهج السلفي . لذلك أيضا شكل من الفكر الليبرالي مستمرة و يولد عن شكل التعليم المنحى في الدرسي العمي ، عقلي ، و زمني . و شكل الفكر الهجين مستمرة عن شكل التعليم الوسطي ضمنا الذي تطورأساليب النصية والسياقية , يتوازن مصدر النص حيلة وبديهية ، تكيف التقليد القديم والحديث كان وثيق و لا يتعارض عن قيمة الدين . Abstrak Artikel ini bermaksud untuk menjelaskan dinamika pemikiran Islam kontemporer dan peran pendidikan Islam yang menjadi salah satu penopangnya. Dinamika pemikiran Islam itu beragam namun memiliki karakter yang sama yaitu pemikiran yang saling berlawanan dan pemikiran yang mencari titik temu. Pemikiran yang saling berlawanan yang dijelaskan di sini adalah fundamentalismedan liberalisme Islam. Kemudian pemikiran yang mencari titik temu di sinidisebut dengan pemikiran hybrid. Artikel ini merupakan kajian pustaka dengan memanfaatkan temuan-temuan dalam kajian terdahulu lalu dirumuskan menjadi temuan baru yang belum dibahas pada kajian ini menyimpulkan bahwa dinamika pemikiran Islam kontemporer dengan karakternya tumbuh berkembang tidak terlepas dari peran pendidikan Islam. Meskipun tidak dipungkiri bahwa peran pendidikan Islam dalam hal ini bukan satu-satunya, karena masih ada faktor lainnya seperti faktor sejarah, politik, teknologi, globalisasi, modernisasi, konteks sosial dan budaya. Pemikiran Islam fundamental dapat ditopang dan dilahirkan oleh model pendidikan Islam idiologis-puris manhaj salafi. Begitu pula bentuk pemikiran liberal ditopang dan dilahirkan oleh model pendidikan yang berorientasi akademik-ilmiah, rasional dan sekuler. Bentuk pemikiran hybridditopang oleh model pendidikan moderat-inklusif yang mengembangkan metode tekstual-kontekstual, menyeimbangkan sumber nas}, akal dan intuitif, mengakomodasi tradisi lama dan modern yang masih relevan dan tidak bertentangan dengan nilai agama. Abdul ChalikDuring the weakening of bargaining position of Islam in world’s view because of terrorism issue after the Black September 2001’, ISIS arise, a socio-political organization that is even more extreme than the predecessor, al-Qaeda. ISIS not only make the West afraid because of all the exploitation, especially after the Paris terror in the mid of November 2015, but also hurt the feeling of Muslims as they involve the name of Islam-while the behavior is contrary to the belief in Islam. Geopolitically, the position of Islamic world is in dilemma; one side it must deal with the Muslims, while on the other side it should be in synergy with foreign powers against its own nation or brothers. The Islamic world position to face the power of ISIS is weak. Different from ISIS or al-Qaeda which is extreme and exclusive, Islam Nusantara is on the contrary. This article was written by a descriptive-explorative method by presenting the issues of the Islamic world today and its relationship with the ideology of Islam Nusantara being built. Abstrak Peranan Islam Nusantara dalam Dinamika Geopolitik Dunia Islam. Tulisan ini berangkat dari kegelisahan terhadap lahirnya ISIS, sebuah gerakan sosial politik yang lebih ekstrim dibandingkan dengan pendahulunya, al-Qaeda. Satu sisi, organisasi ini tidak saja membuat Barat ketakutan atas segala sepak terjangnya, terutama pasca teror Paris di pertengahan Nopember 2015, pada sisi yang lain juga menciderai perasaan umat Islam karena dianggap mendompleng atas nama agama Islam—sementara perilakunya berlawanan dengan ajaran Islam. Secara geopolitik posisi dunia Islam mengalami dilema; satu sisi harus berhadapan dengan Muslim sendiri sementara pada sisi yang lain harus bersinergi dengan kekuatan asing untuk melawan bangsa atau saudara sendiri. Berbeda dengan Islam ala ISIS atau al-Qaeda yang bercorak ekstrim dan eksklusif, Islam Nusantara berpandangan sebaliknya. Artikel ini ditulis dengan metode ekploratif deskriptif—dengan menyajikan persoalan dunia Islam saat ini dan hubungannya dengan ideologi Islam Nusantara yang sedang dibangun. Keywords Islam Nusantara, Islamic world geopolitics, ISIS Mukodi MukodiThere is an increasing concern as if discussing politics in pesantren Islamic Boarding School was uncommon. This oddity is due to the conception of a person who puts pesantren merely a decontextualised scholarly reproduction of an-sich from the real world problem or real politics and not as an agent of change. In fact, pesantren is a replica of life integrating various life skills, including politics. The most interesting finding was that the diverse activities of life in the boarding school had raised the seedling of students’ political sense. This article also recommends the presence of political boarding school establishment, as a political incubator for Islamic activists as the continuity of conditioning political awareness in pesantren. Its realization is believed to be able to trigger the acceleration of the Islamic ideal leader candidate in Indonesia. Saiful MujaniThis article suggests the political dynamics that occur at the time of the conference the Partai Persatuan Pembangunan PPP, which was held on 29 August to 2 September opinions that say that the congress of the United Development Party PPP that has its own strategic significance because the results will determine the 1997 election and then General Session, 1998. At this General Assembly will take place according to many in the national succession, including the change of state leaders, the president Republic of Indonesia. So many groups concerned with this third congress PPP who is leading the party's control she would participate in such an important time of c 2014 by SDI. All right Agung Tiga Teori Sosial HegemonikZainuddin MalikiMaliki, Zainuddin. Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya LPPAM, Otentisitas Liberalisme, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta LKiSDavid SagivSagiv, David. Islam Otentisitas Liberalisme, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta LKiS, sebagai Ilmu KritisFranz Magnis-SusenoMagnis-Suseno, Franz. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta Penerbit Kanisius, Mechanism of Ideological mis-Recognition " dalam Slavoj ZizekMichel PecheuxPecheux, Michel. " The Mechanism of Ideological mis-Recognition " dalam Slavoj Zizek ed., Mapping Ideology. London UK, Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-ModernismeAzyumardi AzraAzra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta Paramadina, JainuriOrientasi Ideologi GerakanIslamJainuri, Achmad. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya LPAM, Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke IndonesiaM RahmatImdadunRahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta Erlangga, 2002. MASA DEPAN ISLAMOleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-AlbaniAllah Subhanahu wa Ta’ala الَّذى أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِا لْهُدَى وَدِيْنِ الْْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْن “Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk Al-Qur’an dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”. [At-Taubah/9 33].Kita patut merasa gembira dengan janji yang telah diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui firman-Nya itu, bahwa Islam dengan kearifan dan kebijkasanaannya mampu mengalahkan agama-agama lain. Namun tidak sedikit yang mengira bahwa janji tersebut telah terwujud pada masa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, masa Khulafaur Rasyidin, dan pada masa-masa khalifah sesudahnya yang bijaksana. Padahal kenyataannya tidak demikian. Yang sudah terealisasi saat itu hanyalah sebagian kecil dari janji di atas, sebagaimana di isyaratkan oleh Rasul Shallallahu alaihi wa sallam, melalui sabdanya لاَيَذْ هَبُ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ حَتَّى تُعْبَدَ اللاَّتَ وَالْعُزََّى فَقَالَتْ عَاءِشَةُ يَا رَسُلُوْاللهِ اِنْ كُنْتُ لاَظُنُّجِيْنَ اَنْزَلَ اللهُ هُوَالَّذِىْاَرْسَلَرَسُولَهُ بِا لْهُدى وَدِينِ الجَقِِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الَّذِ ينَ كُلِّه وَلَوكَرِهَ الْمُشٍْرِكُونَ , اَنَّ ذ لِكَ تَامًّا قَالَ اِنَّهُ سَيَكُوْنُ مِنْ ذلِكَ مَاشَاءَاللهُ. اَلجديث“Malam dan siang tidak akan sirna sehingga Al-Lata dan Al-Uzza telah disembah. Lalu Aisyah bertanya Wahai Rasul, sungguh aku mengira bahwa tatkala Allah menurunkan firman-Nya “Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk Al-Qur’an dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai, hal ini itu telah sempurna realisasinya”. Beliau menjawab “Hal itu akan terealisasi pada saat yang ditentukan oleh Allah”.Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam-Imam yang lain. Saya telah mentakhrijnya di dalam kitab saya Tahdzirus Sajid Min Ittkhadzil Qubur Masajida [Peringatan Bagi Yang Sujud Untuk Tidak Menjadikan Makam Sebagai Masjid, hal 122].Banyak hadits-hadits lain yang menjelaskan masa kemenangan Islam dan tersebarnya ke berbagai penjuru. Dari hadits-hadits itu tidak diragukan lagi bahwa kemenangan Islam di masa depan semata-mata atas izin pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan catatan harus tetap kita perjuangkan, itu yang penting. Berikut ini akan saya tampilkan beberapa hadits yang saya harapkan dapat membakar semangat para pejuang Islam dan dapat dijadikan argumentasi untuk menyadarkan mereka yang fatalis tanpa mau berjuang sama اَ ْلاَوََّلُ ,, اِنَّ اللهَ زَوى , اَىْجَمَعَ وَضَمَّ لِىَ اْلاَرْضُ فَرَاَيْتَ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِ بَهَا , وَاِنَّ اُمَّتِى سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَازَوى لِى مِنْهَا . الحديث“Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghimpun mengumpulkan dan menyatukan bumi ini untukku. Oleh karena itu, aku dapat menyaksikan belahan bumi Barat dan Timur. Sungguh kekuasaan umatku akan sampai ke daerah yang dikumpulkan diperlihatkan kepadaku itu”.Hadist tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim 8/171, Imam Abu Daud 4252, Imam Turmudzi 2/27 yang menilainya sebagai hadits shahih. Imam Ibnu Majah 2952 dan Imam Ahmad dengan dua sanad. Pertama berasal dari Tsaubah 5/278 dan kedua dari Syaddad bin Aus 4/132, jika memang haditsnya mahfuzh terjaga.Ada hadits-hadits lain yang lebih jelas dan luas yaitu ٣. اَلثَّا نِى ,, لَيَبْلُغَنَّ هذَا اْلاَمْرُ مَا بَلَغَ الَّيْلَ وَالنَّهَارُ وَلاَيَتْرُكُ اللهُ بَيْتَ مَدَرٍ وًلاَوَبَرٍ اِلاَّاَدْخَلَهُ اللهُ هذَا الدِِّيْنَ , بِعِزِّعَزِيْزٍ , اَوْبِذُلِّ ذَلِيْلٍ , عِزًّايُعِزُّاللهُ بِهِ أَلاِسْلاَمَ , وَذُلاَّيُذِلُّ بِهِ الْكُفْرَ ,,“Sungguh agama Islam ini akan sampai ke bumi yang dilalui oleh malam dan siang. Allah tidak akan melewatkan seluruh kota dan pelosok desa, kecuali memasukkan agama ini ke daerah itu, dengan memuliakan yang mulia dan merendahkan yang hina. Yakni memuliakan dengan Islam dan merendahkannya dengan kekufuran”.Hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok Imam yang telah saya sebutkan di dalam kitab At-Tahdzir hal. 121. Sementara Imam Ibnu Hibban meriwayatkannya di dalam kitab Shahih-nya 1631, 1632. Sedang Imam Abu Arubah meriwayatkannya di dalam kitab Al-Muntaqa minat-Thabaqat 2/10/1.Tidak diragukan lagi bahwa tersebarnya agama Islam kembali kepada umat Islam sendiri. Oleh karena itu mereka harus memiliki kekuatan moral, material dan persenjataan hingga mampu melawan dan mengalahkan kekuatan orang-orang kafir dan orang-orang durhaka. Inilah yang dijanjikan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa اَلثَّ لِثُ عَنْ اَبِى قُبَيْلٍ قَلَ كُنَّاعِنْدَ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرِوبْنِ العَاصِيْ , وَسُءِل اَيُّ اْلمَدِيْنَتَيْنِ تُفْتَحُ اَوَّلاً ؟ اَلْقُسْطَنُطِيْنِيَّةُ اَوْرُوْمِيَّةُ ؟ فَدَعَا عَبْدُاللهِ بِصُنْدُوْقٍ لَهُ خَلْقٌ , قَالَ فَاَخْرَجَ مِنْهُ كِتَابًا , قَالَ فَقَالَ عَبْدُالله بَيْنَمَانَحْنُ حَوْلَ رَسُ الِلّّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ,, مَدِيْنَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ اَوَّلً , يَعْنِى قُسْطَنْطِنِيَّةَ ,,“Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Qubai. Ia menuturkan “Pada suatu ketika kami bersama Abdullah Ibnu Amer Ibnu Al-Ash. Dia ditanya tentang mana yang akan terkalahkan lebih dahulu, antara dua negeri. Konstantinopel atau Rumawi. Kemudian ia meminta petinya yang sudah agak lusuh. Lalu ia mengeluarkan sebuah kitab.” Abu Qubail melanjutkan kisahnya Lalu Abdullah menceritakan [1] “Suatu ketika, kami sedang menulis di sisi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Tiba-tiba beliau ditanya “Mana yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Rumawi ?. ” Beliau menjawab “Kota Heraclius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu”. Maksudnya adalah Konstantinopel”.Hadit ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad II/176, Ad-Darimi I/126, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Muhson II/47, 153, Abu Amer Ad-Dani di dalam As-Sunanul Waridah fil-Fitan hadits-hadits tentang fitnah, Al-Hakim III/422 dan IV/508 dan Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam Kitabul Ilmi II/30. Abdul Ghani bahwa hadits ini hasan sanadnya. Sedangkan Imam Hakim menilainya sebagai hadits shahih. Penilaian Al-Hakim itu juga disetujui oleh Imam Rumiyyah dalam hadits di atas maksudnya adalah Roma, ibu kota Italia sekarang ini, sebagaimana bisa kita lihat di dalam Mu’jamul Buldan Ensiklopedi Negara.Sebagaiman kita ketahui, bahwa kemenangan pertama ada di tangan Muhammad Al-Fatih Al-Utsmani. Hal itu terjadi lebih dari delapan ratus tahun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyabdakan hadits di atas. Kemenangan keduapun akan segera terwujud atas seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana نَبَأهُ بَعْدَ حِيْنٍ“Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui kebenaran berita Al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi”. [Shaad/38 88]Tidak diragukan lagi bahwa kemenangan kedua mendorong adanya kebutuhan terhadap Khalifah yang tangguh. Hal inilah yang telah diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melalui اَلرَّبِعْ ,, تَكُوْنُ النُّبُوَّ ةُ فَيَكُوْنُ مَاشَااللّه اَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَااللّهُ اَذَشَاءَاَنْ يَرْفَعُهَا , ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مَنْهَاجِ النُّبُوَّ ةِ , فَ تَكُوْنُ مَاشَااللّهُ اَنْ تَكثوْنُ , ثُمَّ يَرْفَعُهَا اِذَاشَاءَاَنْ يَرْفَعُهَا . ثُمَّ تَكُوْنُ مَلِكًا عَاضًا فَيَكُوْنُ مَاشَاءَاللّهُ اَنْ تَكُوْنَ , ثُمَّ يَرْفَعُهَا اِذَشَاءَاللّهُ اَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مَنْهَاجِ نُّبُوَّةِ , ثُمَّ سْكَتَ“Kenabian telah terwujud di antara kamu sesuai dengan kehendak Allah. Kemudian Dia akan menghilangkannya sesuai dengan kehendak-Nya, setelah itu ada Khilafah yang sesuai dengan kenabian tersebut, sesuai dengan kehendak-Nya pula. Kemudian Dia akan menghapusnya juga sesuai dengan kehendak-Nya. lalu ada Raja yang gigih berpegang teguh dalam memperjuangkan Islam, sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah itu ada seorang Raja diktator bertangan besi, dan semua berjalan sesuai dengan kehendak-Nya pula. Lalu Dia akan menghapusnya jika menghendaki untuk menghapusnya. Kemudian ada Khilafah yang sesuai dengan tuntunan Nabi. Lalu Dia diam”.Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad IV/273. Kami mendapatkan riwayat dari Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi, juga dari Dawud bin Ibrahim Al-Wasithi, Hubaib bin Salim, dan Nu’man bin Basyir yang mengisahkan, “kami sedang duduk di masjid. Basyir adalah seorang yang sering menyembunyikan haditsnya. Lalu datanglah Abu Tsa’labah Al-Khasyafi dan bertanya Wahai Basyir bin Sa’id, apakah engkau menghafal hadits Rasul tentang Umara ? Tetapi kemudian, Khudzaifahlah yang justru menjawab “Saya menghafal khutbahnya”.Mendengar itu kemudian Abu Tsa’labah duduk, sementara Khudzaifah selanjutnya meriwayatkan hadits itu secara marfu’.Hubaib mengomentarai dengan menceritakan “Tatkala Umar bin Abdul Aziz mulai tampil dan saya mengetahui bahwa Yazid bin Nu’am bin Basyir menjadi pengikutnya, maka saya menulis surat kepadanya, berisikan tentang hadist ini. Saya memperingatkan dengan mengatakan kepadanya Saya berharap agar beliau Umar bin Abdul Aziz benar-benar bisa menjadi Amirul Mu’minin setelah adanya raja yang gigih memperjuangkan agama sebelum dia naik tahta. Lalu surat saya itu disampaikan kepada Umar bin Abdul Aziz. Dia merasa gembira dan sanad Ahmad, hadist itu juga dirwayatkan oleh Al-Hafidzh Al-Iraqi di dalam Mahajjatul-Ghurab ila Mahabbatil-Arab II/17. Selanjutnya Al-Hafidz mengatakan “Status hadits ini shahih. Ibrahim bin Dawud Al-Wasithi dinilai tsiqah baik akhlaknya dan kuat ingatannya oleh Abu Dawud, Ath-Thayalisi dan Ibnu Hibban. Sedangkan perawi-perawi yang lain bisa dibuat hujjah di dalam menetapkan hadits shahih”.Yang dimaksud Al-Hafidzh ini adalah yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim, tetapi mengenai Hubaib oleh Al-Bukhari dinilainya dengan “fihi nadharun” ungkapan yang menunjukkan masih diragukannya keabsahan seorang perawi. Sedanglan Ibnu Addi mengatakan Dalam matan hadits yang diriwayatkannya Hubaib tidak terdapat hadits munkar hadits yang ditolak, tetapi ia telah memutarbalik sanadnya mudhtharib. Akan tetapi Abu Hatim, Abu Dawud dan Ibnu Hibban menilainya tsiqah. Oleh karena itu, setidak-tidaknya nilai haditsnya adalah hasan. Bahkan Al-Hafidzh menialinya La ba’sa bihi Lafazh ta’dil tingkat ke empat. Perawi yang dinilai dengan lafazh pada tingkat ini haditsnya bisa dipakai, tetapi harus dilihat kesesuainya dengan perawi-perawi lain yang dhabit kuat ingatannya, sebab lafazh itu tidak menunjukkan ke-dhabit-an seorang perawi. penerjemah.Hadits yang senada Asy-Syahid disebutkan di dalam musnad karya Ath-Thayalis Nomor 438 “Saya diberi riwayat oleh Dawud Al-Wasithi -ia adalah orang yang tsiqah-, ia menceritakan “Saya mendengar hadits itu dari Hubaib bin Salim. Tetapi dalam matan hadits tersebut ada yang tercecer matannya. Tapi kemudian ditutup dilengkapi dengan hadits dari Musnad di dalam kitabnya Al-Majma’ V/189 menjelaskan “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad, sedangkan Al-Bazzar juga meriwayatkan, namun lebih sempurna lagi. Imam Ath-Thabrani juga meriwayatkan sebagian dalam kitabnya Al-Ausath dan perawi-perawinya adalah tsiqah”.Dengan demikian menurut saya, kecil sekali kemungkinannya hadits tersebut diriwayatkan oleh Umar bin Abdul Aziz, sebab masa pemerintahannya adalah setelah masa Khulafaur Rasyidin, yang jaraknya setelah dua masa pemerintahan dua orang raja. [2].Selanjutnya hadits yang berisi tentang berita gembira dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengenai kembalinya kekuasaan kepada kaum Muslimin dan tersebarnya pemeluk Islam di seluruh penjuru dunia hingga dapat membantu tercapainya tujuan Islam dan menciptakan masa depan yang prospektif dan membanggakan hingga meliputi bidang ekonomi dan pertahanan. Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi Shallallahu alaihi wa اَلْخَامِسُ لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتّى تَعُوْدَاَرْضُ الْعَرَبِ مُرَقَ جًا وَاَنْهَارًا“Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum tanah Arab menjadi tanah lapang yang banyak menghasilkan komoditas penting dan memiliki pengairan yang memadai”.Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim 3/84, Imam Ahmad 2/703, 417, dan Imam Hakim 4/477, dari hadits Abu gembira itu mulai terealisasi di beberapa kawasan Arab yang telah diberi karunia oleh Allah berupa alat-alat untuk menggali sumber air di dalam gurun pasir. Di sana bisa kita lihat adanya inisiatif untuk mengalirkan air dari sungai Eufrat ke Jazirah Arab. Saya membaca berita ini dari beberapa surat kabar lokal. Hal itu mungkin akan menjadi kenyataan. Dan selang beberapa waktu kelak, akan benar-benar terwujud dan bisa kita yang perlu diketahui dalam hubungannya dengan masalah ini adalah sabda Nabi Shallallahu alaihi wa لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ“Tidak akan datang kepadamu suatu masa, kecuali masa sesudahnya akan lebih buruk, sampai kalian bertemu dengan Tuhanmu, yakni datangnya kiamat”.Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al-Fitan, dari hadits Anas, secara marfu’.Hadits ini selayaknya dipahami dengan membandingkan hadits-hadits lain yang terdahulu dan hadits lain yang ada hubungannya. Seperti halnya hadits-hadits tentang Al-Mahdi dan turunnya Nabi Isa Alaihis sallam. Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa hadits ini tidak mempunyai arti secara umum, tetapi mempunyai arti khusus sempit. Oleh karena itu, kita tidak boleh memahaminya secara umum apa adanya, sehingga menimbulkan keputusasaan yang merupakan sifat yang harus dibuang jauh dari orang mukmin. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ اذْهَبُؤا فَتَحَسَّسُؤا مِنْ يُؤسُفَ وَأخِيْهِ وَلاَتَايْءَسُؤا مِنْ رَّؤحِ اللّهِ إنَّهُ لاَ يَايْءَسُؤا مَنْ رَّؤحِ اللّهِ إلاَّ الْقَؤمُ الْكَافِرُؤنَ“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya, dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. [Yusuf/12 87].Saya senantiasa memohon ke haribaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga Dia berkenan menjadikan kita sebagai orang-orang yang benar-benar mukmin.[Disalin dari buku Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah wa Syaiun Min Fiqhiha wa Fawaaidiha, edisi Indonesia Silsilah Hadits Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal 17-24, terbitan CV Pustaka Mantiq, penerjemah Nur] _______ Footnote [1] Perkataan Abdullah ini juga diriwayatkan oleh Abu Zur’ah di dalam bukunya Tarikhu Damsyiq Sejarah Damaskus I/96. Di situ juga ditunjukkan bahwa hadits tersebut juga ditulis pada masa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam [2] Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitabnya Al-Ausath yang bersumber dari Mua’adz bin Jabal secara marfu’ adalah dha’if. Bunyinya adalah “Tiga puluh kenabian dan satu orang raja, dan tiga puluh raja dan satu Jaburut raja bertangan besi sedangkan setelah itu tidak ada kebaikan sama sekali”. JAKARTA - Setiap harinya, dalam pikiran manusia kerap dipenuhi dengan bayangan-bayangan di masa depan. Namun terlalu memikirkan masa depan, sama seperti membeli furnitur untuk rumah yang bahkan belum dibangun. Ketika furnitur tersebut berada di tangan, kita tidak punya tempat untuk meletakkannya. Akibatnya, barang-barang itu akan memadati hidup di masa sekarang. Dengan kata lain, terlalu memikirkan masa depan sama artinya dengan mengisi hari-hari dengan pikiran, perhatian, antisipasi, dan kecemasan yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Dalam sebuah artikel yang diunggah di About Islam, manusia kerap terburu-buru menuju masa depan demi sesuatu yang disebut sebagai kebaikan. Saat masih anak-anak, tidak sedikit yang ingin cepat besar sehingga bisa bermain dengan teman-teman lain yang lebih tua. Pun saat remaja, kita tidak bisa menunggu untuk menjadi dewasa dan bebas dari batasan orang tua. Nantinya saat dewasa, manusia sudah bermimpi tentang masa pensiun ketika akhirnya dapat menikmati semua waktu luang yang ada. Manusia kerap memiliki kecenderungan bergegas ke masa depan demi kebaikan yang dirasa ada di sana. Tetapi tidak ada yang bisa menjamin hari esok. Tidak ada jaminan apa pun darinya. Ketika kita menaruh terlalu banyak harapan di hari esok, hal ini berisiko membawa hasil yang berbahaya. Manusia akan mulai merasa berhak atas masa depan tertentu yang mungkin tidak pernah datang. Ketika masa depan yang diharapkan itu tidak terjadi, manusia bisa menjadi sangat emosional dan sengit. Lebih parah, manusia bisa kehilangan momen menikmati berkah yang didapat di momen saat ini. Allah SWT telah memberi tahu tentang itu dalam Alquran dengan sangat jelas. Dalam QS An-Nahl ayat 1, Allah SWT berfirman, "Ketetapan Allah pasti datang, maka janganlah kamu meminta agar dipercepat datangnya. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan". Ayat ini mengingatkan tentang sifat Hari Akhir yang tidak diketahui, tetapi juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang akan telah diatur akan datang pada saatnya. Manusia diminta untuk sabar hingga saatnya tiba. Jika harus menjalani hidup dengan berpikir dan berharap untuk masa depan, hal ini dapat dilakukan dengan mengingat kita akan menerima yang baik di kehidupan selanjutnya, untuk kebaikan yang kita lakukan dalam kehidupan ini. Namun, kita hanya bisa bertemu dengan kesenangan di akhirat dengan mengambil tindakan di masa sekarang. Jadi mari berharap untuk rahmat Allah dan menyerahkan masa depan kehidupan ini kepada kehendak Allah. Alasan lain seorang manusia memikirkan masa depan karena memikirkan kemungkinan kejahatan yang bisa saja terjadi. Sebagai manusia, kita sering menghabiskan banyak waktu mengkhawatirkan hal-hal buruk apa yang akan terjadi di depan. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini

masa depan dunia menurut islam